Apr 2, 2014

Rahasia Sang Penulis

0


Dimuat di Majalah Kawanku No. 154 (26 Juni-10 Juli 2013)
Bisa juga dibaca di sini

Rahasia Sang Penulis

Aku tahu cara menulis cerpen yang bagus. Aku tahu pemilihan kata, frase, atau kalimat yang bisa membuat pembaca terangsang untuk membaca sampai tuntas. Intinya, aku tahu bagaimana memuaskan pembaca. Semua hanya masalah trik. Seperti halnya pialang saham yang piawai melihat geliat pasar, menulis pun demikian. Menulis cerpen hanya butuh trik. Ya, cuma trik.

Semua trik itu sudah kuhafal di luar kepala. Aku mempelajarinya secara otodidak. Kulahap semua cerpen di buku, koran dan majalah. Kuteliti yang membuatku terkesan, dan kubuang yang biasa-biasa saja.

Lama-kelamaan, aku menemukan formula tersendiri untuk menulis. Aku tidak butuh buku panduan atau pembimbing. Semua kulakukan sendiri. Dan benar saja, banyak cerpenku yang dimuat di media. Dalam sekejap, aku kaya raya karena honor yang melimpah.

Meski aku terkenal di antara para penulis cerpen, tak ada yang tahu siapa aku yang sebenarnya. Aku memakai nama Sumire untuk menyamarkan identitas.

Saat akhirnya aku merilis novel, namaku segera disandingkan dengan penulis-penulis terkenal Indonesia, seperti Clara Ng, Andrea Hirata atau Andrei Aksana. Semua orang tergila-gila dengan cerita yang kubuat. Bahkan aku sampai punya fans club sendiri, meski bukan aku yang mengurusnya.

Tentu aku bahagia dengan hal ini. Pundi-pundi uangku segera terisi penuh. Aku semakin terkenal dengan sebutan “Penulis Misterius Abad Ini”.

Waktu penerbit membujukku untuk mengungkap identitas yang sebenarnya, aku menolak. Sumire hanya nama buatan. Ia hanya nama yang kugunakan untuk mencari segepok uang. Sumire bukan aku yang sesungguhnya.

Tidak ada seorang pun yang tahu. Sumire adalah seseorang yang terkurung dalam rumah mewah. Ia terpenjara karena berkelakuan buruk. Ia tidak pernah diizinkan keluar

Ya, Sumire itu aku. Rayana Sasmita.

***

Kamarku berada di lantai tiga sebuah rumah mewah di kawasan pemukiman milik swasta. Dari kamarku, aku bisa melihat view yang menawan. Hutan, danau, dan jalan setapak teratur rapi. Bunga-bunga juga bermekaran, seperti musim semi di luar negeri. Benar-benar indah. Sayang, sudah lama aku tidak menyentuhnya dengan tanganku sendiri. Aku hanya mampu memantaunya dari jendela kamarku yang diberi teralis besi.

Tentu bukan tanpa alasan kenapa aku dikurung di sini. Kata orang-orang aku jahat. Aku suka merusak. Aku tidak bisa dinasehati. Ah, pokoknya macam-macam. Bahkan orang tuaku mengataiku begundal. Jahatnya. Padahal mereka orang tuaku, tapi teganya mengataiku seperti itu.

Aku dikurung semenjak umur 14 tahun. Waktu itu aku marah pada teman sekelasku Ria. Aku menampar wajahnya dengan penggaris. Penggaris itu lalu kutusukkan ke dadanya, hingga berdarah.

Semua orang menjerit saat itu. Aku dijauhkan dari Ria. Tentu aku heran. Padahal Ria yang salah. Seenaknya dia bilang ibuku tukang selingkuh dan wanita panggilan. Katanya dia sering melihat ibuku bersama pria yang berbeda di taman, lalu pergi bersama menuju hotel.

Semenjak aku dikurung, aku merasa kesepian. Hidupku hampa. Teman-teman juga menjauhiku. Mereka tidak pernah datang menjengukku. Mereka bilang aku menakutkan, seperti setan.

Aku sedih. Aku sendirian di kamar. Kadang-kadang saja seorang suster datang mengantar makanan. Selebihnya, aku dibiarkan sendiri. Aku pun tidak pernah sekolah lagi. Orang tuaku melarangku pergi. Mereka takut aku membuat keributan. Terlebih saat aku marah. Aku bisa membuat orang lain terluka.

Minggu pertama, aku menangis tersedu di kamar. Minggu kedua, aku lelah menangis. Minggu ketiga, keajaiban terjadi. Mungkin kalian tidak percaya. Tapi, aku melihat seseorang menembus jendela kamarku. Ia memiliki sayap di punggung. Sayapnya berwarna perak. Ia berwajah tampan, seperti Orlando Bloom.

“Ka-kau… siapa? Bagaimana bisa kau menembus…?” Aku tergeragap.

“Aku Siva. Kau sedang senggang kan? Mau bekerja untukku?” ucapnya ramah.

Tanpa sadar aku mengangguk. Bukan karena tawaran yang diajukannya. Tapi, karena senyumnya yang menawan. Senyum yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama.

***

Kau percaya malaikat? Awalnya aku tidak percaya makhluk itu ada. Kupikir malaikat cuma makhluk ciptaan penulis novel fantasi. Tapi, kini aku percaya setelah bertemu Siva.

Siva adalah malaikat yang sedang dihukum Tuhan. Siva tidak menjelaskan apa yang membuatnya dihukum. Ia hanya menjelaskan bentuk hukumannya padaku.

“Tenang saja, ini semua tidak gratis. Aku akan mengabulkan satu permintaanmu. Kau hanya perlu membantuku membuat mimpi,” pintanya.

“Mimpi? Tapi, bagaimana bisa?” Alisku merengut bingung.

“Tiap tidur kau bermimpi kan? Aku ingin kau membuat jalan cerita mimpi itu.”

Aku mengerjapkan mata. Masih tak mengerti.

“Tuhan menghukumku membuat mimpi untuk manusia.” Siva menjentikkan jari. Tumpukan buku menggunung di hadapanku. “Baca ini. Tiru, adaptasi, apapun. Buat cerita yang bagus untukku,” ucapnya lugas.

***

Gara-gara Siva itulah aku mulai melahap apapun yang bernama fiksi. Aku membaca cerpen di buku, majalah, dan koran yang diberikan Siva. Tak ada yang ketinggalan. Aku bersungguh-sungguh bekerja pada Siva untuk membuat cerita yang bagus.

Seminggu pertama, aku menyerahkan draft-ku pada Siva. Siva berkata ceritaku tidak jelek, tapi juga tidak bagus. Bukan tipe cerita yang akan diingat manusia saat bangun tidur dan menceritakan mimpinya pada orang terdekat.

Aku kembali berusaha. Aku belajar menulis. Kucermati cerita milik orang lain, lalu kujadikan versiku sendiri. Aku sungguh ingin Siva memujiku, karena itu aku berusaha keras. Aneh sekali. Padahal sebelumnya aku tidak pernah berusaha sekeras ini. Apakah ini pengaruh cinta pada pandangan pertama?

***

Memang tak ada yang sia-sia setelah kita menekuni sesuatu. Aku pun demikian. Setelah belajar secara otodidak, Siva mulai memuji jalan cerita yang kubuat. Ia tampak kagum dengan potensiku. Ia bilang aku berbakat menulis.

“Kau berbakat. Kau menyerap semuanya dengan baik. Aku bisa memakai semua cerita yang kau buat untuk mimpi manusia,” ucap Siva sambil membolak-balik draft-ku.

“Benarkah?”

Siva mengangguk. “Sayang sekali kemampuanmu ini tidak diketahui orang lain karena kau disekap di sini. Apa kau tidak ingin punya banyak uang, hanya dengan duduk dan mengkhayal di kamarmu yang terkunci?”

“Caranya?”

Siva tersenyum simpul. Ia menunjuk laptop yang lama tak kusentuh.

***

“Mbak Rayana, mohon pertimbangkan permohonan kami.”

Telepon terputus. Aku melempar ponselku. Lagi-lagi pihak penerbit menghubungiku untuk membuat acara jumpa fans. Akhir-akhir ini mereka sangat memaksa, meski aku sudah bilang tidak berkali-kali. Animo para fans untuk bertemu dan mendapat tanda tanganku begitu besar. Penerbit pun kewalahan. Tapi, tentu saja aku tidak peduli. Itu bukan urusanku.

Lagipula dengan kondisi sekarang, aku tidak mungkin bisa ke mana-mana. Aku masih dikurung di kamarku. Suster kadang menjenguk untuk mengantar makanan. Aku tahu ia prihatin dengan kondisiku. Aku juga tahu ia kasihan padaku. Aku pun memanfaatkannya. Kuminta ia membuatkan rekening bank untukku atas namanya. Ia tidak menolak. Rekening itulah yang kugunakan untuk keperluan transfer honor dan royalti novelku.

Sungguh, aku berbeda dengan aku yang dulu. Tidak masalah aku dikurung di kamarku sendiri karena dianggap berbahaya. Dengan nama Sumire, aku sudah melalang buana pada hati tiap orang. Aku membuat mereka terpesona dengan cerita yang kubuat.

Aku membuka laptop. Segera kuketik nama Sumire di kotak pencarian Google. Tak sampai dua detik, aku melihat blog yang mengulas diriku.

Siapa Sumire? Dia begitu misterius. Tak ada yang benar-benar tahu tentangnya. Akun Facebook dan Twitter yang memakai namanya semuanya palsu. Mereka cuma orang yang tergila-gila pada Sumire.

Ah, Sumire. Siapakah gerangan dirinya? Ini sungguh aneh. Tapi, tiap membaca karyanya, aku tersedot oleh sesuatu yang tak kasat mata. Aku bahkan memimpikannya. Aneh sekali. Bagaimana mungkin sesuatu yang kita baca bisa muncul dalam mimpi kita secara akurat? Sumire sangat ajaib. Apakah ia seorang penyihir?

Aku tersenyum kecil. Pasti Siva yang melakukannya. Aku membantunya membuat cerita untuk mimpi manusia. Setelah menyalinnya, Siva menyerahkan draft-draft itu padaku. Aku memermaknya sedikit, lalu kukirim ke media. Sungguh kolaborasi yang bagus. Siva mendapat untung, aku mendapat uang sebagai gantinya.

Wuuusshhh…

Angin berhembus lembut. Aku menoleh ke belakang. Kulihat Siva datang menembus jendela kamarku. Sayap peraknya berkepak.

“Apa naskahmu sudah siap?” tanya Siva.

Aku mengangguk. Kutunjuk tumpukan kertas dengan tulisan tangan di lantai. Siva memungutnya. Ia membacanya, lalu mengangguk-angguk.

“Bagus. Bagus sekali. Aku terpukau!”

“Siva, bukannya kau berjanji akan mengabulkan satu permintaanku?” tanyaku sambil menatap lekat-lekat wajahnya.

“Oh, tentu. Kinerjamu sangat bagus. Kau boleh minta apa saja padaku.”

Aku tersenyum. Kuperhatikan wajah Siva yang tampan. Aku mendekatinya. Kusentuh lengannya yang kurus tapi berotot.

“Aku jatuh cinta padamu. Bisakah aku menjadi kekasihmu?”

Siva terdiam. Kertas-kertas di tangannya berjatuhan ke lantai. Ia memelukku erat. Seketika aku tahu, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Lebih dari itu, aku bahagia dikurung di kamarku sendiri. Aku ingin terus seperti ini. Selama mungkin.

0 comments:

Post a Comment