Mar 5, 2021

Ayah, Aku Rindu

0


REVIEW AYAH, AKU RINDU

Kisah di Balik Kematian Sang Ibu

Judul: Ayah, Aku Rindu
Penulis: S. Gegge Mappangewa
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Cetakan: I, Maret 2020
Tebal: 192 halaman
ISBN: 978-602-495-290-7
Harga: Rp. 45.000,-

Blurb:

Samar-samar kudengar suara ayah. Ya, suara ayah. Suara yang telah lama kurindukan itu terdengar dari ruang tamu. Ada sebuah rasa yang menyusup ke dalam dadaku. Rasa bahagia yang melonjak-lonjak.

Doa itu…?

Doa yang selama ini kupanjatkan dengan menyebut nama ayah di dalamnya, ternyata begitu cepat dikabulkan. Padahal saya pernah pesimistis, toh ayah sendiri yang pernah bilang bahwa tidak semua doa langsung dikabulkan. Butuh penantian. Butuh kesabaran.

Luka, duka, derita, tak menunggu orang dewasa dulu untuk kemudian ditimpanya. Semua kepahitan itulah yang akan menempa kedewasaan.

Review:

Memiliki orang tua yang lengkap dan harmonis tentu menjadi impian semua anak. Namun, takdir manusia tak bisa ditebak. Kematian bisa saja menghampiri ayah/ibu dan meninggalkan luka yang mendalam. Tentu butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut. Yang menjadi masalah, bagaimana kalau hal itu mengawali terkuaknya misteri kehidupan seseorang?

Seperti itulah gambaran cerita Ayah, Aku Rindu karya S. Gegge Mappangewa. Kematian sang ibu tak hanya membuat Rudi kehilangan sang ibu, tapi juga sang ayah. Ayah Rudi memang masih hidup. Hanya saja kematian istrinya membuat jiwanya terguncang. Rudi enggan mengakui kalau ayahnya mengalami gangguan jiwa. Namun, fakta itu terpampang jelas. Terlebih ayahnya tak segan ingin menghabisi nyawanya, tanpa Rudi tahu apa penyebabnya.

Sebenarnya, apa yang mendasari perilaku ayah Rudi tersebut? Apa pula pemicunya? Novel ini memang memiliki premis yang menarik. Balutan misteri atas sikap ayah Rudi membuat pembaca penasaran untuk mencari tahu rahasia apa yang tersembunyi. Rupanya rahasia itu berhubungan dengan masa lalu sang ibu. Ketika rahasia itu terkuak, pembaca jadi ikut merasa simpati atas apa yang terjadi pada Rudi dan ibunya.

Memiliki orang tua yang mengalami gangguan jiwa akibat depresi memang tak mudah. Rudi yang masih remaja kesulitan menerima kondisi tersebut. Apalagi orang terdekatnya terus mendesak agar ayah Rudi dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Rudi baru saja kehilangan ibunya. Ketika berpikir dia akan kehilangan ayahnya, hal itu memberinya konflik batin yang cukup berat. 

Bisa dibilang cerita dalam novel ini cukup mengalir. Hanya saja ada satu kelemahan yang tampak jelas. Penggunaan kata ‘saya’ dan -ku untuk menunjukkan milik terasa amat mengganggu. Alangkah baiknya menggunakan kata ‘aku’ saja agar pembaca merasa nyaman saat membaca.

Meski ada kelemahan, novel ini menawarkan banyak potensi. Muatan ceritanya cukup kompleks. Unsur lokalitasnya juga begitu kental dengan sisipan legenda mengenai Nenek Mallomo. Untuk ukuran novel setebal 192 halaman yang bisa dibaca sekali duduk, penulis cukup piawai memainkan plot. Terlebih ada twist yang disiapkan begitu mendekati akhir cerita.

Melihat keistimewaannya, novel ini sangat layak menyabet gelar juara 1 Kompetisi Menulis Indiva 2019. Dari kisah Rudi, Pak Sadli, dan Nabil, pembaca bisa belajar bagaimana seorang anak menyikapi perbuatan ayahnya. Terlebih ketika sang ayah bukan sosok ideal yang diimpikan. 

Novel ini bertabur banyak kalimat indah yang bisa dijadikan kutipan yang menarik. Semuanya dirangkum di bawah ini:

Ibu yang telah meninggal, perlahan-lahan memang bisa kulupakan. Namun, ayah yang tiap hari harus kuhadapi dengan kesabaran penuh, tak akan bisa beranjak dari pikiranku. (hal. 26)

“Jika kalian ingin cerdas, jujurlah! Karena kejujuran adalah kecerdasan yang sudah mulai langka. Ingat, kejujuran bukan gunung batu! Kejujuran bisa diperbarui! Mulailah!” (hal. 32)

Andai saya bisa seperti Nabil, yang hanya dengan bercerita, lukanya seperti terembus angin sepoi, mungkin saya tak seterpuruk sekarang ini. Harusnya saya banyak dari Nabil tentang manajemen luka, belajar tentang sabar, dan banyak lagi yang harus saya pelajari darinya, kecuali dalam hal mendapatkan cinta. (hal. 37)

“Jika masalah harus dihargai dengan air mata, suatu saat orang tak akan percaya lagi dengan tangis kita.” (hal. 54)

“Luka, duka, derita, tak menunggu orang dewasa dulu untuk ditimpanya. Semua kepahitan itulah yang akan menempa kedewasaan. Ayahku memang meninggal belum setahun, tapi saya kehilangan sosoknya sejak saya lahir.” (hal. 60)

Kutanyakan padamu, adakah hati yang tak teriris melihat pemandangan serupa itu terjadi pada ayahnya? Ayah yang dulu bersamamu mencipta kenangan manis, ayah yang dulu pernah memberimu tawa, kini serupa tahanan yang meminta belas kasihan. (hal. 93)

Sesal tak pernah datang tepat waktu. Sesal selalu menunggu semua  tak bisa lagi terulang kembali, lalu datang mengetuk pintu untuk memberi kabar bahwa semua tak ada artinya lagi. (hal. 95)

“Allah sebaik-baik penolong dan tempat meminta, Rud! Setahun, dua tahun, itu ukuran dokter. Allah bisa mengubah segalanya lewat doa-doa kamu, Rud! Tentu saja sambil menguji kesabaranmu.” (hal. 123)

“Melupakan tak selamanya berarti pengkhiatan, Rud! Kamu memang harus tetap mengingat ayahmu dalam doa.” (hal. 126)

Rating: 4/5 bintang

0 comments:

Post a Comment