Mar 10, 2021

Tragedi Apel & Buku Ajaib Jiko

0


REVIEW TRAGEDI APEL & BUKU AJAIB JIKO

Kisah di Balik Pencurian Apel

Judul: Tragedi Apel & Buku Ajaib Jiko
Penulis: Yosep Rustandi
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Cetakan: I, Juli 2020
Tebal: 160 halaman
ISBN: 978-623-253-002-7
Harga: Rp. 40.000,-

Blurb:

“Buku memberi bantuan kalau kita jujur. Kalau bohong berarti mikir sendiri.”

Alin, bocah lelaki delapan tahun itu terpaksa menjambret. Bukan untuk uang atau pun perhiasan, melainkan ‘hanya’ seplastik apel. Apel import besar beraroma harum, buah yang telah lama diidamkan emaknya. Emak sakit parah dan Alin ingin membahagiakan beliau supaya beliau cepat sembuh.

Akan tetapi, apel hasil jambretan itu justru membuat petaka. Bersama sahabatnya, Jiko si kutu buku, Alin berusaha keluar dari masalah pelik yang datang silih berganti. Ide-ide cemerlang hadir lewat buku 
ajaib Jiko, memberi titik terang pada permasalahan Alin.

Sebuah kisah yang seru, lucu, dan sarat pelajaran. Tak mengherankan jika cerita ini menjadi Pemenang I dalam Kompetisi Menulis Indiva 2019 Kategori Novel Anak. Sangat menginspirasi. Selamat membaca, Kawan!

Review:

Mencuri adalah perbuatan tercela. Tak jarang kita menghakimi pelakunya. Namun, apabila yang dicuri cuma seplastik apel, masihkah kita bersikap menghakimi, tanpa mencari tahu kisah di baliknya?

Seperti itulah gambaran cerita Tragedi Apel & Buku Ajaib Jiko karya Yosep Rustandi. Pencurian apel yang dilakukan Alin rupanya berbuntut panjang. Jiko memang tak ikut mencuri. Namun, dia terpaksa terlibat gara-gara melihat Alin mencuri dan bersama-sama melarikan diri setelah diteriaki maling.

Kisah dalam cerita ini bergulir dengan apik. Situasi yang dialami Alin membuat pembaca merasa simpati. Kemiskinan memang menjadi momok dalam masyarakat kita. Hal itu tertuang dalam kisah hidup Alin. Tak bisa dipungkiri masih ada anak-anak seperti Alin yang harus mencari nafkah untuk bertahan hidup.

Novel ini memperlihatkan dengan jelas efek dari kesenjangan ekonomi. Anak-anak seperti Alin dan Jiko harusnya mencecap pendidikan dengan layak. Sayangnya, keadaan berkata lain. Untunglah masih ada lembaga seperti LSM Sanggar Hati yang peduli. Yasmin, sebagai salah satu relawan, berkontribusi sebagai pengajar di sana. Di sana pula dia berteman akrab dengan Jiko yang hobi membaca buku.

Bisa dibilang konflik dalam cerita ini cenderung simpel dan tak terlalu berat. Pembaca diajak menyelami alasan Alin harus mencuri apel, dan keengganan Yasmin bercerita pada keluarganya kalau dia salah satu relawan di Sanggar Hati. Kedua konflik itu diakhiri dengan baik dan terbilang manis.

Sayangnya, ada satu hal yang luput diperhatikan. Karena buah apel adalah fokus utama, bahkan Alin dan Jiko menamam bibitnya, tak ada info mengenai buah tersebut. Hal ini amat disayangkan. Tak seperti buah lain, apel tak bisa tumbuh di sembarang tempat. Apel cuma bisa tumbuh di dataran tinggi dengan suhu dingin. Memang ada jenis apel yang bisa tumbuh di dataran rendah. Hanya saja hal itu sama sekali tak disinggung. Penulis seperti tak mempertimbangkan untuk memasukkan info tersebut pada ceritanya. Padahal sedikit info tak akan mengurangi eksistensi cerita. Malah akan membuat cerita lebih hidup, sehingga penggunaan apel tak cuma sekadar tempelan belaka.

Meski demikian, buku ini masih memberikan banyak pesan pada pembaca. Dari sosok Alin, kita belajar bagaimana menjadi sosok anak yang tabah. Dari sosok Jiko, kita tahu bahwa buku adalah jendela pengetahuan. Dari sosok Yasmin, kita belajar untuk peduli pada kehidupan kaum papa. Dan, dari sosok Dini yang apelnya dicuri Alin, kita belajar untuk tak lekas menghakimi perilaku buruk orang lain.

Buku ini memang paket lengkap. Muatan ceritanya banyak sekali. Ada juga adegan yang membuat haru. Dengan keistimewaannya, tak heran buku ini menjadi Pemenang I dalam Kompetisi Menulis Indiva 2019 Kategori Novel Anak.

Di buku ini ada pula kutipan-kutipan menarik. Kutipan tersebut dirangkum di bawah ini:

“Alin tidak tahu, Teh. Dia tidak tahu kalau buku memberi tahu kita tentang banyak hal. Semuanya ada di buku. Seluruh pengetahuan dunia ini ada di buku. Begitu kan, Teh Yas?” (hal. 36)

Bahagia yang menyedihkan sebenarnya. Bahagia karena anak delapan tahun itu sudah begitu dewasa. Alin tahu apa yang harus dikerjakannya. Alin tahu di mana tempat ia hidup. Tapi kasihan juga. Anak sekecil itu harus memikul beban yang berat. Mestinya ia bermain dan belajar  sebagaimana anak lain seusianya. (hal. 41)

“Dini, tidak semua anak seperti Jiko! Jangan menyamaratakan mereka seperti itu dong! Kamu pikir semua orang kaya, terpelajar, itu baik? Pencuri besar itu biasanya orang kaya, biasanya terpelajar!” Yasmin akhirnya meledak. (hal. 91)

Tapi sejak itu Alin mulai belajar banyak hal. Semua yang hidup pernah merasakan sehat dan sakit. Nilai hidup tidak ditentukan dari mana kita berasal dan di mana kita mati. Nilai hidup ada dalam proses menjalani. Siapa yang bisa menjalani hidup lebih baik, lebih bijak, lebih berguna, lebih ikhlas, lebih bertakwa, itulah orang-orang yang berbahagia. Begitulah pelajaran yang Alin tangkap, pelajaran yang diberikan emak selama ini. (hal. 157)

Rating: 4/5 bintang

0 comments:

Post a Comment