Mar 14, 2016

Percakapan Tengah Malam

1

Ilustrasinya sangat-sangat loveable!!

Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Gadis edisi 31 yang terbit tanggal 19 Desember 2015 - 1 Januari 2016. Ini cerpen pertama yang dimuat di Gadis, jadi masih ada kekurangan di sana-sini. Ada bagian yang bikin aku ngerasa ih-seharusnya-kan-begitu-tapi-kok-gak-ditulis-sih-bego-banget-lu-nyesel-kan-lu-sekarang *plakk* Yah, penyesalan memang selalu datang terlambat, tapi semoga terhibur baca cerpen ini. Ah ya, sampai hari ini aku masih menunggu bukti terbit cerpen ini yang entah kenapa gak sampai-sampai juga ke rumah. Mungkin kami gak berjodoh. Hiks! *malah curcol* :p Okay, happy reading!

Percakapan Tengah Malam
Oleh: Eni Lestari

Aku ingat percakapanku dengan Lamia ketika kami sama-sama meringkuk di sudut kamar. Lampu sengaja kami matikan saat itu, agar Papa dan Mama tak tahu kami masih terjaga. Dengan penerangan senter, aku dan Lamia mendiskusikan siapa yang akan ikut Papa, dan siapa yang ikut Mama.

“Aku akan ikut Papa,” ucap Lamia. “Kamu tahu Papa tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Dari dulu aku yang mengatur kamar kita tetap bersih dan rapi. Kamu tidak suka bersih-bersih.”

Aku merengut. “Jadi, aku ikut Mama? Mama tidak bisa masak. Kamu tahu masakan Mama tidak enak. Papa juga tidak bisa masak, tapi Papa tahu makanan restoran mana yang lebih enak. Kalau Mama lebih suka masak mie instan,” gerutuku.

“Kamu bisa belajar memasak makanan yang kamu suka. Aku punya buku resep yang mudah dipraktikkan. Atau lebih mudah lagi, telepon saja layanan delivery.”

Aku masih merengut, tidak suka Lamia memutuskan seenaknya. Sejak dulu, Lamia memang suka menggunakan otoritasnya sebagai yang tertua. Meski sejatinya ia cuma lebih tua lima menit dariku.

“Jadi, kita sepakat?” Lamia mengeratkan kardigan. Udara mulai mendingin. Lamia berdiri sejenak untuk merapatkan korden kamar, lalu kembali duduk di sampingku.

“Apa kamu yakin Papa dan Mama akan bercerai?” tanyaku sangsi.

Lamia mengangguk. “Aku dengar Mama berbicara di telepon akan menyewa pengacara untuk mengurus perceraian. Dengan kondisi keluarga kita, Mama pasti berpikir perceraian adalah solusi yang sempurna.”

Aku mengembuskan napas. Aku tak bisa menyangkalnya.

Entah sejak kapan, Papa dan Mama sering cekcok. Ada saja yang mereka ributkan. Sedikit saja celah, mereka akan saling tuding dan mengucapkan kata-kata kasar satu sama lain. Meski tak sering, kadang pagi hari ketika aku dan Lamia hendak berangkat sekolah, kami menemukan pecahan gelas di lantai—sisa pertikaian Papa dan Mama malam sebelumnya. Lamia-lah yang pada akhirnya membuang pecahan gelas itu ke tempat sampah.

“Apa menurutmu mereka tak mungkin rukun seperti dulu?”

Lamia mendengus. “Dulu? Kapan? Waktu kita masih balita?” ucapnya sinis.

“Kenapa kamu jadi skeptis sih, Lamia?”

Lamia terdiam. Sejurus kemudian, ia mematikan senter, membuat kegelapan menguasai kamar kami.

“Sudah malam. Ayo, tidur. Besok aku ada piket pagi,” ajaknya.

Aku memerhatikan siluet tubuh Lamia yang bergerak menuju tempat tidur. Aku mengikutinya, lalu tidur di sampingnya. Kutarik selimut sampai batas dada, lalu berbaring miring. Di antara keremangan kamar, aku bisa melihat sisi wajah Lamia dari samping.

“Kalau nanti aku tinggal dengan Mama, aku akan tidur dengan lampu menyala tiap malam. Aku tidak suka tidur gelap-gelapan.”

“Itu terserah kamu. Yang jelas, selama kamu sekamar denganku, lampu harus dimatikan sebelum tidur. Tidak baik tidur dengan lampu menyala. Aku pernah kasih artikelnya, kan? Kamu tidak membacanya?”

Aku terkikik geli mendengar penuturan Lamia. Saudari kembarku itu memang maniak kesehatan. Tanpa menjawab, kupeluk Lamia erat-erat. Tak lama, aku pun tertidur lelap.

***

Pagi ini, hanya aku dan Lamia yang sarapan. Mama tidak kelihatan, begitu juga pula Papa. Dari post-it yang ditempel di kulkas, Mama bilang ada rapat pagi ini di kantor. Supaya tidak terjebak macet di jalan, Mama berangkat subuh. Sementara Papa, tak meninggalkan pesan apa pun. Papa cuma meninggalkan uang saku untukku dan Lamia di meja dapur.

“Pulang sekolah nanti aku mau beli novel. Mau ikut?” tawarku pada Lamia sambil menghitung uang yang diberikan Papa. Bulan lalu, aku terlalu boros. Untuk bulan ini, aku akan mengurangi kegemaranku membeli novel terbaru.

“Sori, aku ada acara.”

Aku mengerling ke arah Lamia. “Satya?”

Lamia mengangguk kecil, tanpa mengalihkan pandang dari layar ponselnya. “Kami mau nonton. Sekalian beli kado buat Mamanya. Dia minta aku memilih kado yang bagus. Menurutmu Mama Satya bakal suka kalau diberi gaun?” tanyanya sambil mendongak. Alisnya lalu merengut. “Itu ide Satya, bukan ideku. Aku sih bilang mending dibelikan kalung atau gelang.”

“Kalau aku sih akan beli buku resep. Bukannya Mama Satya suka masak? Kamu pernah masak bareng Mama Satya, kan?”

Mata Lamia berbinar. Ia meletakkan ponselnya, lalu memandangku. “Rania, kamu benar-benar… JE-NI-US!” serunya histeris.

Aku cuma tertawa mendengarnya.

***

Aku melambaikan tangan pada Lamia begitu sampai sekolah. Aku dan Lamia memang beda sekolah—meski jarak sekolah kami tak begitu jauh, hanya dipisahkan dua blok saja. Dulu ketika awal masuk sekolah dan sama-sama belum punya teman, kami suka bertemu di Café Louvre. Letak café itu sangat strategis karena berada tepat di antara dua sekolah kami.

Sepanjang koridor, aku kembali memikirkan pembicaraanku dengan Lamia semalam. Topik itu tercetus begitu saja dari bibir Lamia, walau tentu saja aku tak menyukainya. Selama ini, aku dan Lamia selalu bersama. Memikirkan kami akan tinggal di tempat yang berbeda, membuat perutku terasa diaduk-aduk tak nyaman.

Aku duduk di bangkuku, setengah melamun. Apa memang tak ada kemungkinan bagi keluarga kami kembali seperti dulu? Kenapa Lamia begitu yakin kalau Papa dan Mama akan bercerai?

“Rania, coba dengar deh.”

Aku terkejut mendapati Panji memasukkan earphone ponselnya ke telingaku. Aku bahkan tak menyadari ia duduk di sampingku.

“Bagaimana? Enak kan lagunya?” tanyanya sambil menggeser ponselnya agar aku bisa melihat lagu yang sedang ia putar.

Aku mendengarnya sambil lalu, kemudian mengangguk. Lagu yang diputar Panji lumayan easy listening, dengan iringan piano yang menenangkan. Hanya saja, aku sedang tidak mood membicarakan hal-hal semacam itu. Jadi, aku hanya berkomentar seperlunya. Sementara Panji menanggapinya dengan antusias. Ia membicarakan penyanyi yang lagunya baru saja ia putar dengan menggebu-gebu. Aku tersenyum saja, berharap bel cepat berbunyi agar Panji bisa kembali ke bangkunya secepat mungkin.

Untunglah, doaku cepat dikabulkan. Meski enggan, Panji kembali ke bangkunya.

Aku menghela napas. Ketika Bu Mutya masuk, otakku seakan tak mau fokus pada pelajaran. Aku masih memikirkan ucapan Lamia.

Kulirik Panji yang bangkunya berseberangan denganku. Ia tersenyum kecil seraya menaikkan kedua alisnya, seolah bertanya ada apa. Seketika aku teringat rencanaku membeli novel hari ini. Aku mengambil ponsel, lalu mengetik sesuatu dan kukirimkan pada Panji. Aku melakukannya diam-diam agar tidak ketahuan Bu Mutya.

Temani aku ke toko buku yuk, sepulang sekolah nanti?

Kutatap Panji lagi. Panji mengangguk mantap sambil mengacungkan jempolnya. Aku tersenyum manis, senang dengan perhatian cowok itu.

***

“Kamu kelihatan lesu hari ini,” ujar Panji begitu kami sampai di toko buku. “Kamu bertengkar sama Lamia?”

Aku menggeleng pelan. “Tidak. Aku baik-baik saja, kok,” jawabku berbohong. Aku tak begitu suka membicarakan masalah keluargaku pada Panji, meski status cowok itu adalah pacarku saat ini. Entahlah, rasanya tak nyaman. Aku merasa itu adalah wilayah pribadiku. Aku lebih suka membicarakannya dengan Lamia.

“Seperti biasa, aku tunggu di rak komik. Kamu keliling saja cari buku yang mau kamu beli. Oke?”

Aku mengangguk. Setelah itu, kami berpencar. Aku segera pergi melihat rak berisi novel new arrival. Ada tujuh novel baru, dan semuanya dari penulis favoritku. Aku mengerang dalam hati, berusaha tidak tergoda untuk membeli semuanya. Aku sudah bertekad untuk membeli dua judul saja hari ini.

Ketika sedang menimbang-nimbang ingin membeli novel yang mana, sudut mataku melihat sosok yang kukenal di balik kaca, di luar toko buku. Aku meletakkan novel kembali ke rak, dan berjalan mendekat.

Mataku membeliak begitu menyadari siapa yang kulihat. Aku tidak mungkin salah. Tas merek Gucci berwarna ungu itu mirip kepunyaan Mama. Dan Mama bersama seseorang yang tak kukenal—pria berpenampilan necis khas eksekutif muda.

Mama dan orang itu pergi. Tanpa pikir panjang, aku keluar dari toko buku dan mengikutinya. Sedikit berlari aku menuruni tangga eskalator mal. Kepalaku celingukan, mencari sosok Mama dan pria itu. Aku menemukan mereka masuk ke sebuah butik. Lengan Mama menggelayut manja pada pria itu.

Langkahku terhenti. Aku melihat pria itu memandang Mama dengan tatapan penuh kasih. Tak peduli banyak orang, pria itu mencium puncak kepala Mama.

Sesuatu yang liar berdentam-dentam di jantungku. Tanganku gemetar, menyaksikan pemandangan itu. Kucari ponsel di saku rok. Mataku mengembun ketika aku mengirim pesan singkat pada Lamia.

Lamia, aku tidak mau tinggal dengan Mama.

***

Ponselku berdering beberapa kali begitu taksi yang kutumpangi berhenti di depan rumah. Setelah membayar argo, kulihat Panji beberapa kali menelepon. Ia juga mengirim SMS bertanya aku ada di mana, karena ia tak menemukanku di toko buku. Aku tak menjawabnya. Setelah kejadian di mal, aku tak berselera berbicara dengan siapa pun.

Ya, kecuali tentu saja dengan Lamia.

Begitu membuka pintu, Lamia menghambur ke arahku. Wajahnya cemas. Ia segera menarik tanganku dan memaksaku duduk di sofa ruang tamu.

“Ada apa?” tanyanya khawatir.

Alih-alih menjawab, aku malah balik bertanya. “Lho, kamu tidak jadi nonton?”

“Rania!” Lamia melotot.

Aku terkekeh. Sembari menunggu penjelasanku, Rania duduk di sampingku. Kuembuskan napas pendek. Setelah menata perasaanku, akhirnya kuceritakan apa yang kulihat di mal tadi. Aku mencoba menahan air mataku saat mengatakannya. Anehnya, Lamia tak terlihat terkejut dengan apa yang kuceritakan. Seakan-akan ia sudah mengetahui hal itu sebelumnya.

“Apa kamu sudah tahu kalau Mama…” Aku tak bisa meneruskan kalimatku.

Lamia menggeleng pelan. “Bukan Mama. Tapi Papa.”

“Maksudmu?”

Lamia menunduk. “Maaf tidak memberitahumu sebelumnya. Aku takut kamu marah dan menuduhku berbohong.”

“Memang Papa kenapa?” tanyaku tak sabar.

“Beberapa hari lalu, aku mengantar Satya menemui Om Willy yang baru datang dari Surabaya. Om Willy menginap di Hotel Antika. Saat itulah, aku lihat Papa di lobi hotel dengan seorang wanita. Aku tidak tahu wanita itu siapa. Tapi, mereka terlihat mesra…” Lamia menelan ludah. “Aku buru-buru bersembunyi di balik punggung Satya agar Papa tidak tahu aku juga ada di sana.”

Kenyataan itu menghantamku dengan telak. “Jadi, karena ini kamu yakin Papa dan Mama pasti bercerai? Karena kamu lihat Papa selingkuh?”

“Ya. Dan dugaanku makin menguat mendengar ceritamu barusan.”

Ah. Aku paham sekarang. Sungguh kenyataan yang menyakitkan.

Bahuku dan Lamia sama-sama melorot. Dua fakta itu kini mengerucut, memberi kesimpulan yang sama-sama kami pikirkan. Aku dan Lamia bersitatap. Aku bisa melihat pendar kesedihan di matanya—yang pasti terefleksikan pula di kedua bola mataku. Tapi, tak ada air mata yang menetes dari kedua mata kami. Sebagai gantinya, aku menyandarkan kepala di bahu Lamia, sekadar membagi kesedihan yang kurasakan.

“Apa menurutmu Papa dan Mama tidak saling mencintai lagi?” tanyaku pelan.

“Aku tidak tahu. Yang jelas, mereka berhenti peduli satu sama lain. Mungkin sudah sejak lama.”

“Lalu, apa arti kehadiran kita bagi mereka? Kita buah cinta mereka, kan?”

Lamia tak menjawab. Aku tak tahu apa ia tak tahu jawabannya, atau memang tak mau menjawabnya.

Keheningan mengudara di sekitar kami. Keheningan itu terusik ketika ponsel Lamia berbunyi nyaring—telepon dari Mama. Lamia segera menekan tombol loud speaker agar aku bisa mendengar suara Mama.

“Nanti malam ada yang mau Mama dan Papa omongkan. Ini masalah serius. Bilang sama Rania jangan pergi ke mana-mana,” ucap Mama dengan suara bergetar. Ada backsound suara laki-laki di sebelahnya. Aku tak mungkin salah. Itu bukan suara Papa.

“Oke, Ma,” jawab Lamia, lalu menutup telepon.

Aku dan Lamia saling pandang. Kami mengembuskan napas kuat-kuat.

“Jadi, kamu serius tidak mau ikut Mama? Kamu mau ikut Papa?” tanya Lamia sambil menggenggam tanganku. “Papa dan Mama pasti mengajukan pilihan itu. Aku ingin kita memutuskan pilihan sebelum Papa dan Mama bicara soal perceraian mereka.”

Aku menunduk. “Bisa tidak kita tinggal berdua di rumah Oma? Oma tinggal sendiri, kan?” ucapku dengan nada lemah. Membayangkan perselingkuhan Papa dan Mama membuatku mulas. Aku yakin aku tak bisa tinggal dengan salah satu dari mereka.

Lamia tersenyum. “Ide bagus. Kamu selalu punya ide bagus, Rania. Meski, ya… dengan begitu kita akan tinggal jauh dari Jakarta. Kurasa Lampung tak buruk juga. Ehm… tapi di sana ada Starbucks, kan?”

Aku tertawa mendengarnya. Rasanya aku akan selalu baik-baik saja asal ada Lamia di sampingku.

Ya, semoga saja begitu.

***

1 comment: