Jun 6, 2019

Ik ben Een Dukun

1


REVIEW IK BEN EEN DUKUN

Judul: Ik ben Een Dukun
Penulis: Artesyerrent
Link: Storial.co

Blurb:

Jakarta, 1939. Berdasarkan pengalaman pribadi dari Loco Albertus Dzister.

Aku mengenalnya sebagai bocah yang periang dan agak nekat. Pernah hidup di Weltevreden dan tak keberatan membawaku kembali ke tempo dulu hanya untuk mengenang impian luhurnya yang kurang lazim; Menjadi seorang dukun!

Lha, bagaimana bisa?

Ssstt... jangan beritahu siapa-siapa ya, ini adalah rahasia antara kamu dan aku yang membacanya. Aku hanya berharap agar kita tak pernah melupakan sejarah kota ini, walaupun Jakarta sudah sangat berubah. Selamat membaca!

Review:

Fiksi sejarah selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang menghargai sejarah. Menjelajahi kehidupan di masa lalu memang menyenangkan, karena banyak hal yang tak pernah kita tahu sebelumnya. Selipan info mengenai tempat, budaya, bagaimana kehidupan di masa itu, serta interaksi orang-orangnya, memberikan sekelumit pemahaman bahwa dunia memang telah banyak berubah. Meskipun demikian, mengenal kearifan di masa lampau membantu kita untuk mengenal negeri sendiri. Bahwasanya di balik ingar-bingar kehidupan moderen saat ini, pernah ada masa ketika segalanya serba tradisional. Tentu saja tradisional tak melulu berarti buruk dan udik. Di tangan penulis, hal ini bisa dijadikan senjata untuk memperkaya tulisan dan memberi kekhasan tersendiri yang berbeda dengan penulis lain.

Ik ben Een Dukun merupakan salah satu fiksi berbalut sejarah yang bisa dibaca gratis di Storial.co. Judulnya terbilang unik, karena perpaduan antara bahasa Belanda dan Indonesia, yang bisa diartikan menjadi: Aku Seorang Dukun. Mengambil latar tahun 1939 di Batavia, cerita ini mengisahkan seorang bocah berusia 9 tahun bernama Loco Albertus Dzister yang bercita-cita menjadi dukun. Tentu ada alasan tersendiri kenapa dia ingin menjadi dukun. Loco terpesona dengan Eyang Katok yang bisa menyembuhkan orang secara ajaib. Meski cita-citanya terbilang aneh untuk anak seusianya, tapi Loco bersungguh-sungguh dengan hal itu. Dia ingin membantu orang dengan menjadi dukun seperti Eyang Katok.

Menggunakan sudut pandang orang ketiga dan pertama, cerita ini mudah dipahami pembaca. Sentuhan humornya pun sangat terasa, seperti ketika membaca novel terjemahan. Yang menarik, penulis memberikan berbagai informasi mengenai tempat di Batavia pada zaman itu yang namanya masih berbau Belanda, misalnya: Rijswijk Straat—Jalan Majapahit; Noordwijk Straat—Jalan H. Juanda; Gedung Societeit de Harmoniegedung pertemuan yang sangat high class pada masa itu, namun sekarang sudah dijadikan lapangan parkir Sekretariat Negara; dll. Hal ini membuat cerita ini tampak spesial, karena pembaca seperti diajak 'tamasya' ke masa lalu lewat narasi yang disajikan oleh penulis.

Selain Loco yang mana adalah keturunan Hollander (keturunan Belanda), penulis mengenalkan tokoh bernama Frans yang merupakan anak berdarah campuran. Pada masa itu, keturunan Hollander merasa memiliki status lebih tinggi. Mereka tak jarang bersikap kasar pada pribumi (sebutan warga asli Indonesia). Namun, ada juga yang bersikap baik dan tak memedulikan status semacam itu. Misalnya saja ibu Loco yang mendukung Loco berteman dengan siapa pun, tapi tetap memberi batasan jelas karena mereka masih keturunan Hollander.

Perjalanan 'karir' Loco menjadi dukun terbilang sukses. Ketiga misi yang dijalankannya berjalan baik dan mulus, membuat pembaca ikut simpati dengan keberhasilan Loco menolong orang dengan predikatnya sebagai dukun. Meski cerita ini tak terlalu menonjolkan plot yang rumit, namun penulis menggantinya dengan karakter para tokohnya yang loveable. Tak lupa pula segala trivia yang disisipkan penulis yang masih menunjang isi cerita. Tentu tak mudah menuliskan hal ini. Dibutuhkan riset dan pengetahuan akan sejarah yang mumpuni, sehingga penulis bisa mengaplikasikannya pada ceritanya sendiri.

Melihat keistimewaan kisah ini, tak berlebihan andai cerita ini dibuat dalam platform lain, misalnya seperti animasi untuk mem-visalisasikan apa yang dialami Loco. Mengenal Jakarta Tempo Doeloe saat bernama Batavia pun bisa dijadikan media belajar sejarah yang menarik. Keberagaman yang tersaji akan membuat siapa pun tak lagi memedulikan etnis atau ras saat berteman. Terlebih di masa sekarang di mana isu ini terbilang sensitif, ketika etnis tertentu harus dijauhi karena dianggap berdampak buruk bagi segelintir kalangan. Dari persahabatan Loco dan Frans yang masih berdarah Eropa dan Upik yang pribumi sejati, siapa pun bisa mengambil makna bahwa manusia sejatinya sama saja, tak ada bedanya:

Kadang anak-anak itu tidak mengerti, mengapa harus ada pengelompokan manusia di dunia ini seperti buah-buahan di pasar. Ironis, memang.

Diam-diam aku tersenyum. Seperti inikah rasa keberagaman? Frans walau berlainan keyakinan denganku, ia tampak senang sekali berada di sini.

Rating: 5/5 bintang

1 comment: