Wanna join? Click here |
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen "Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan." #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra Honda Motor dan Nulisbuku.com
______________________________
Laura dan Sebuket Bunga Mawar
Oleh: Eni Lestari
Cinta kadang memaksamu melakukan tindakan konyol. Atau tidak masuk akal. Atau di luar logika. Dan… kamu melakukannya hanya untuk membuat seseorang terkesan.
Bagaimana aku bisa berpikir seperti itu? Karena, well, itulah yang kulakukan sekarang.
Seharusnya aku sudah pulang sejam lalu dan asyik tidur siang. Namun, karena satu dan lain hal, saat ini aku tengah menggenggam gagang payung pink dengan aksen kuping kucing di atasnya. Tidak, hari ini tidak hujan. Malah terik sekali, seolah matahari sudah bergeser ribuan kilometer mendekati bumi.
Lalu, bagaimana cowok macho sepertiku—well, aku doyan nge-gym untuk meningkatkan massa otot—bisa menggenggam barang girly seperti ini? Tentu ada alasannya. Dan alasan itu berupa makhluk cantik yang saat ini sedang berjalan di sampingku.
Langkah kakinya pendek-pendek. Kalau kutilik lagi, dia tiga puluh senti lebih pendek dariku. Dari atas sini, aku bisa melihat pusar kepalanya yang—entah bagaimana—terlihat cute di mataku.
Aku memang sedang dimabuk kepayang. Dan satu-satunya orang yang membuatku bisa melakukan tindakan aneh bin absurd ini cuma satu: LAURA—cewek yang kutaksir sejak kelas satu, tapi sukses menolakku sebanyak lima kali.
Entah kenapa, Laura terlihat antipati padaku, seolah aku kriminalis yang baru keluar dari penjara. Padahal nyaris seluruh cewek di sekolah menyukaiku, karena yah… bukan salahku kan kalau aku punya tubuh jangkung dan muka cakep? Terlebih lagi dengan motor sport warna merah yang kukendarai ke sekolah. Cewek-cewek pasti histeris tiap melihatku mengendarai motor sport itu. Bukannya narsis, tapi gayaku memang keren banget, mirip pembalap F1.
Penampilan oke, tongkrongan pun oke. Perpaduan yang sempurna, bukan? Sayangnya, itu tidak berlaku bagi Laura. Dia sama sekali tidak terpesona dengan kekerananku. Yang ada malah dia makin antipati tiap aku meng-gas motorku untuk menarik perhatiannya.
“Gue mau ke situ,” ucap Laura ketus seraya mendongak, membuatku sedikit terlonjak karena asyik melamun dari tadi. Dia menunjuk toko bunga di seberang jalan dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya disangga ambin—semacam kain yang dililitkan di leher untuk menopang lengan yang patah.
Ya, itu juga salah satu alasanku menemani Laura pulang. Lengan kanannya keseleo karena terjatuh di tangga. Itu murni kecelakaan, meski aku ikut andil membuat lengannya terluka seperti itu.
Oke, jadi ceritanya begini. Pulang sekolah, seperti biasa, aku mengekor Laura supaya bisa mengantarnya pulang. Laura selalu berjalan kaki tiap pulang sekolah, meski jarak rumahnya lumayan jauh, sekitar dua puluh menit berjalan kaki. Supaya tidak kepanasan, dia punya senjata andalan payung pink dengan aksen kuping kucing di atasnya. Payung itulah yang melindunginya dari sengatan sinar UV yang berpotensi membakar kulitnya yang kuning langsat.
Waktu itu, aku terus membujuk Laura supaya mau diantar pulang. Laura terus-terusan menolak sambil bergegas menuruni tangga. Saat itulah, sepatunya selip dan dia terpeleset. Lalu, seperti adegan dalam drama, tubuh Laura melayang dan jatuh mengenaskan ke anak tangga paling bawah. Wajahnya meringis kesakitan. Dia melotot ke arahku sambil berteriak ala tokoh antagonis dalam film, “Ini semua gara-gara lo!!”
Dikatai seperti itu, tentu saja aku harus bertanggung jawab, dong. Maka dari itulah, aku terpaksa meninggalkan motor kebanggaanku di sekolah dan mengantar Laura pulang. Mau bagaimana lagi, Laura keukeuh menolak kuantar pakai motor. Sepertinya dia benar-benar benci dengan motor sport-ku yang superkeren itu.
“Mau beli bunga apa?” tanyaku sambil terus memayungi Laura dari terik sinar matahari. Kami menyeberang lewat zebra cross ketika lampu sudah berubah hijau.
“Bukan urusan lo!” seru Laura sewot. Dia berjalan cepat begitu sampai di depan toko bunga, tanpa mengindahkanku sama sekali.
Aku mendengus mangkel. Kalau cowok biasa, pasti sudah kabur dikasari seperti itu oleh cewek yang ditaksir. Tapi, jujur saja, aku sudah kebal menghadapi sifat ketus Laura. Awalnya dulu aku memang shock. Namun, lama-kelamaan aku merasa tertantang untuk menaklukkan Laura. Aku percaya ada sisi lembut dalam diri cewek itu yang disembunyikannya.
Tak lama, Laura keluar sambil menenteng sebuket bunga mawar. Aku tersenyum manis, yang langsung disambut Laura dengan kerutan di dahi. Aku menabahkan diri dalam hati, mencoba bersabar dengan kelakuan Laura yang ajaib itu.
“Lipat payung gue, terus masukin ke ransel. Cepet!” perintah Laura begitu dia berdiri di depanku.
Meski agak bingung, aku menuruti perintah Laura. Setelah mengancingkan ranselnya, Laura sontak berbalik. Tanpa berkata apa-apa, dia berlalu begitu saja, meninggalkanku yang bengong menatap punggungnya.
“Laura! Lo mau ke mana?!” seruku sambil berlari mendekat.
“Ya, pulang lah! Udah, jangan ikutin gue! Dasar stalker!” bentak Laura. Dia berjalan cepat, lalu berbelok memasuki sebuah gang.
Aku menghela napas dalam-dalam. Rasanya ada sesuatu yang mengiris ulu hatiku karena diperlakukan seperti itu. Namun, ada sesuatu yang membuatku penasaran. Diam-diam, aku mengikuti Laura dari belakang. Sedapat mungkin aku berusaha agar tidak ketahuan karena sudah membuntutinya.
Dari kejauhan, aku melihat Laura berhenti di tepi jalan. Dia lalu meletakkan buket bunga mawar yang dibelinya di bawah pohon mahoni tak jauh dari tempatnya berdiri. Aku tersentak ketika melihat Laura mengusap pipinya. Laura menangis! Aku tertegun. Apa yang membuatnya bersedih seperti itu?
Tak lama, Laura melangkah pergi. Ketika dia tak kelihatan lagi, aku menghampiri pohon mahoni itu. Buket mawar Laura tergeletak di sana.
Seketika benakku dicerca ribuan pertanyaan mengenai apa yang baru saja kulihat. Sebenarnya, apa yang terjadi? Dan… kenapa Laura menangis?
***
Aku menopang dagu dengan telapak tangan sembari memerhatikan Laura yang duduk di bangku semen di depan kelasnya. Sejak kemarin, aku terus kepikiran mengenai Laura. Sebenarnya, aku ingin bertanya langsung. Tapi, mengingat sifat Laura, aku pasti akan disemprot habis-habisan. Dan ujung-ujungnya dia akan mengataiku stalker lagi. Meski aku tidak keberatan dikatai macam-macam, tapi rasanya aku tidak mau Laura tambah ilfeel karena sikapku.
“Woi, Nji! Bengong aja lo!” Nanda duduk sambil menepuk bahuku.
Aku menggumam tidak jelas. Mataku tak lepas dari Laura.
“Mikirin siapa sih? Jangan bilang mikirin Laura deh. Nggak ada harapan lo sama dia. Ibaratnya nih, lo bagai pungguk merindukan bulan. Hahahaha!” Nanda terbahak.
“Sialan lo!” gerutuku sebal. “Cowok sejati anti menyerah buat ngedapetin apa yang dia mau!”
“Iya deh, terserah lo. Ngomong-ngomong, mau ikut balapan nggak? Acaranya entar malem, di tempat biasa.”
Aku menggeleng. “Nggak deh. Ada urusan yang mesti gue selesein.”
“Tumben. Urusan apaan?”
Aku cuma tersenyum simpul, tidak menjawab pertanyaan Nanda. Mataku masih tertuju pada sosok Laura. Dia spontan melengos begitu tahu aku memerhatikannya diam-diam.
Aku tersenyum miris. Entah kapan dia berhenti bersikap ketus padaku, batinku sedih.
***
Aku menghentikan motor sport-ku tidak jauh dari toko bunga yang didatangi Laura kemarin. Setelah memarkir motor, aku melongok sedikit ke dalam toko bunga itu. Sepertinya sepi, tak banyak pengunjung yang datang. Penjaganya pun tidak kelihatan.
“Mau beli bunga apa?”
Sapaan itu membuatku terlonjak. Aku menoleh dan mendapati seorang perempuan muda berusia sekitar 25 tahun menatapku ramah. Sepertinya dia pegawai di toko bunga ini. Saat mengintip name tag-nya, aku tahu dia bernama Marinka.
“Eh, kamu yang kemarin sama Laura ke sini, kan?” tanya Marinka antusias. “Iya, bener! Aku inget soalnya kamu tinggi banget. Kalo nggak salah namamu… Panji, kan?”
“Lho, kok tahu?” Kini giliran aku yang kaget.
Marinka terkikik. “Tentu aja tahu. Soalnya kan… ups!” Marinka menutup mulut, lalu meringis. “Sori, sayangnya kamu nggak boleh tahu. Hihihi.”
“Maksudnya apaan nih?” kejarku penasaran. “Mbak kenal Laura?”
Marinka mengangguk. Dia memintaku masuk ke dalam toko. Jejeran bunga berwarna-warni seketika menusuk indra penglihatanku. Aku memang tidak terbiasa dengan pemandangan manis nan berbunga-bunga seperti ini.
“Tentu aja kenal. Kita kan saudara sepupu. Dia sering ke sini buat beli mawar. Bunga kesukaan adiknya,” jawab Marinka.
“Oh, begitu.” Aku mengangguk-angguk. “Tapi, kemarin aku lihat dia naruh buket mawar di bawah pohon. Kenapa nggak dikasih ke adiknya?” tanyaku penasaran.
Marinka terdiam. “Ceritanya panjang. Laura nggak pernah bilang, ya?”
“Boro-boro, Mbak. Dia kan orangnya jutek. Aku dijudesin mulu.”
Spontan Marinka ketawa ngakak. “Dia emang orangnya gitu. Tapi, kalau udah kenal deket, dia orangnya baik kok. Jangan khawatir.”
“Terus yang adiknya itu gimana, Mbak?”
Marinka menghembuskan napas pendek. “Kamu mau ketemu adiknya?”
“Boleh, Mbak? Berarti ke rumah Laura dong? Atau mereka nggak serumah sekarang?”
Marinka tersenyum tipis, tanpa menjawab pertanyaanku. Wajahnya tampak sendu.
Aku mengerutkan kening heran. Entah bagaimana, aku merasa ada sesuatu yang ganjil dari cara Marinka membicarakan adik Laura.
***
“Gara-gara hal ini, Laura merasa bersalah selama bertahun-tahun. Dia jadi orang yang berbeda. Dulu, dia ramah banget sama orang. Tapi, sekarang… kamu tahu sendiri kan bagaimana dia menjaga jarak dari orang lain?”
Kalimat Marinka terngiang-ngiang di benakku. Aku turun dari motor sport yang kubanggakan selama ini—motor yang membuatku merasa keren karena mengendarainya ke sekolah, meski aku belum punya SIM. Aku menatapnya nanar. Kini aku tak lagi merasa seperti itu. Setelah bertemu adik Laura, aku merasa apa yang kulakukan selama ini terasa bodoh dan konyol banget.
Kupencet bel rumah Laura. Tak lama, pembantu Laura datang dan membukakan pintu. Aku diminta menunggu di teras, sementara dia memanggil Laura yang katanya sedang bersantai di kamar.
Kepalaku tertunduk. Banyak yang kupikirkan. Kenyataan yang baru kuketahui menghantamku dengan telak.
“Ngapain lo ke sini?!”
Aku mendongak dan melihat Laura duduk di hadapanku. Seperti biasa, dia tampak jutek dan tak bersahabat. Ambinnya sendiri sudah dilepas. Sepertinya lengannya sudah membaik.
Bibir Laura mencibir sinis begitu melirik motor sport yang kuparkir di pekarangan rumahnya. Aku tidak merasa terhina atas reaksinya tersebut. Kini, aku mengerti kenapa dia bersikap demikian.
“Gue mau ngomong sesuatu sama lo,” ujarku pelan.
“Ngomong apa? Cepetan! Gue lagi ngerjain PR Fisika.”
“Kemarin gue lihat lo naruh buket mawar di bawah pohon.”
“Apa?! Jadi, lo membuntuti gue kemarin?!” seru Laura sambil berdiri.
Aku langsung meraih tangan Laura agar dia tidak pergi. “Gue belum selesai ngomong. Dengerin gue sampai selesai. Oke?”
Laura mendengus. Dia kembali duduk, meski mukanya bete setengah mati.
“Gue penasaran banget sama apa yang lo lakuin. Apalagi gue juga lihat lo nangis setelah naruh buket mawar itu. Akhirnya, gue punya ide. Gue bakal pura-pura beli bunga di toko bunga yang lo datengin sambil tanya-tanya tentang lo. Siapa tahu penjaganya kenal lo dan tahu kenapa lo beli buket bunga mawar. Eh, nggak tahunya nasib baik sedang berpihak sama gue. Penjaganya itu sepupu lo.”
“Lo kenal Marinka?”
Aku mengangguk. “Yah, secara nggak langsung sih. Gue lihat namanya di name tag. Kita lalu ngobrolin lo. Dan dia nyebut-nyebut nama adik lo Keyla, yang suka banget sama bunga mawar.”
Mendengar nama adiknya disebut, Laura langsung mematung. Matanya sedikit mengembun. Lalu, seperti tersadar, dia mengerjapkan matanya, dan kembali memasang wajah juteknya yang biasa.
“Nggak usah berbelit-belit deh. Sebenernya lo mau ngomongin apa?”
“Gue tahu alasan lo kelihatan antipati sama gue. Gue ngingetin lo sama orang yang membuat adik lo meninggal, kan?”
Mata Laura membelalak lebar. Dia mencengkeram pinggiran kursi sampai kulitnya memucat. “Da-darimana lo tahu…” Suara Laura tercekat. Dia tidak melanjutkan kalimatnya.
“Marinka yang ngajak gue ke makam adik lo. Awalnya, Marinka nggak bilang apa-apa waktu dia ngajak gue ketemu adik lo. Gue pikir gue akan diajak ke mana gitu. Nggak tahunya, adik lo udah…” Aku terdiam sejenak. “Marinka juga cerita alasan lo naruh buket bunga mawar di bawah pohon. Itu tempat adik lo meninggal. Iya, kan?”
Tanpa kuduga, Laura menangis. Hatiku teriris melihatnya bersedih seperti itu.
“Bisa lo cerita selengkapnya apa yang terjadi waktu itu? Marinka bilang gue harus tanya langsung ke lo biar gue paham perasaan lo.”
Setelah beberapa menit, Laura menyeka pipinya yang basah dengan punggung tangan. Aku menunggu Laura mengucapkan sesuatu. Setelah tenang, dia pun mulai bercerita.
“Umur Keyla baru lima tahun saat itu. Dia suka banget jalan-jalan. Hampir tiap sore kami jalan-jalan keliling kompleks. Sore itu, seperti biasa Keyla ngajak gue jalan-jalan. Dia mau rute yang agak jauh. Akhirnya, gue ajak dia ke jalan besar dan lewat gang yang nggak pernah kita lewati sebelumnya. Dia nggak keberatan. Dia malah seneng…” Laura tersenyum kecil. Sepertinya dia tengah mengenang kelucuan adiknya.
“Keyla itu tipe anak yang nggak bisa diam. Tiap ada yang menarik di jalan, pasti sama dia dideketin. Waktu itu, jalanan yang gue lewati lagi sepi. Keyla melepas genggaman tangan gue. Dia lihat ada anak burung yang jatuh dari sarangnya. Saat itulah, sebuah motor melaju kencang ke arah Keyla. Remnya blong dan Keyla…” Laura tercekat. Dia mencoba menahan isak tangisnya.
Aku menelan ludah mendengar cerita Laura. Tanpa sadar aku menggenggam tangan Laura untuk menguatkannya.
“Gue masih inget banget kejadian itu. Orang yang nabrak Keyla itu pakai seragam SMA. Motornya jenis motor sport yang dipakai buat balapan. Dia nggak pakai helm. Begitu menabrak Keyla, motornya terpelanting. Akibatnya, tubuh Keyla terseret sampai pinggir jalan. Darahnya di mana-mana. Si pengendera motor juga. Dia terkapar gara-gara kepalanya terantuk batu besar. Dia meninggal saat itu juga, sebelum sempat dibawa ke rumah sakit. Sementara adik gue, dia gagal diselametin waktu operasi…” Laura menghapus pipinya yang basah. “Kejadian itulah yang membuat gue dendam sama pengendara motor sport. Apalagi yang doyan kebut-kebutan. Meski yah, sebenernya gue nggak berhak juga, karena toh yang bikin adik gue meninggal udah nggak ada…”
“Gue paham. Karena itu lo sebel sama gue?” tanyaku tanpa basa-basi.
Laura mendengus. “Gue tahu reputasi lo, Nji. Gue sering denger lo balapan pake motor sport yang lo bangga-banggain itu. Kalo lihat kelakuan lo, gue langsung inget orang yang kebut-kebutan dan bikin adik gue meninggal. Mungkin lo menganggap lo terlalu mahir berkendara sampai nggak peduli keselamatan diri sendiri. Tapi, lo nggak akan tahu sampai ada orang yang mati gara-gara lo. Atau nyawa lo hilang gara-gara lo nggak peduli prosedur keselamatan buat diri lo sendiri. Itu yang gue rasain. Gue kehilangan adik gue gara-gara orang macam lo!”
Ucapan Laura menohok jantungku. Seperti itukah yang dipikirkan orang awam tentang kami, para pengguna motor sport? Jujur, selama ini aku memang tidak begitu peduli memakai helm atau tidak. Aku juga sering melajukan motor dengan kecepatan maksimum ketika jalanan sepi. Menurutku tidak apa-apa. Toh aku memang piawai mengendarai motor. Aku juga bisa jaga diri agar tidak sampai celaka atau mencelakai orang lain.
Namun, penjelasan Laura membuka kedua mataku. Jujur, aku merasa malu. Kata-kata Laura ada benarnya. Aku terlalu meremehkan hal-hal kecil. Padahal menjaga keselamatan diri sendiri juga berarti menjaga keselamatan orang lain.
“Gue bakal berubah!” seruku optimis yang membuat Laura kaget.
“Maksud lo?”
“Demi lo gue akan berubah. Ah, nggak. Demi kebaikan diri sendiri dan orang lain, gue akan berubah. Untuk sementara, gue akan berhenti naik motor sport. Karena yah, ehm… sebenernya gue belum punya SIM sih. Hehehe.” Aku nyengir siput.
Laura mendengus. “Udah gue duga.”
Aku cuma menyeringai. Entah kenapa demi Laura, aku merasa bisa berubah menjadi cowok yang lebih baik. Aku memang tidak salah pilih cewek. Semenjak melihatnya waktu MOS dan terpesona oleh sosoknya yang mungil namun berlidah tajam, aku tahu aku memang ditakdirkan untuk menyukai cewek ini.
“Oke, gue pulang dulu. Terima kasih sudah berbagi cerita soal adek lo ke gue.” Aku berdiri. Laura mengangguk kecil. Ketika dia hendak berbalik, aku menarik tangannya. Kutatap matanya tajam. Laura sedikit salah tingkah. Kedua alisnya menyatu, tanda dia tidak nyaman dengan apa yang kulakukan.
“Apaan sih? Lepas nggak?!” serunya sewot.
Aku terkikik seraya melepas tangannya. “Gue tahu rahasia lo.”
“Hah? Rahasia apaan?”
Aku mengedikkan bahu, pura-pura tidak mendengar ucapannya. Kembali terngiang di otakku ucapan Marinka waktu aku mengantarnya kembali ke toko bunga.
“Laura nggak pandai mengungkapkan perasaan. Apa yang dia ucapkan berbanding terbalik dengan apa yang dia rasakan. Tatap matanya. Kalo dia salah tingkah, kamu bakal tahu kalo dia sebenernya diam-diam juga merhatiin kamu. Dia suka ngomongin kamu kok kalo ke sini buat beli bunga…”
Aku tak bisa mengendalikan senyum semringah yang tersungging di bibirku. Aku menoleh ke belakang. Laura masih berdiri di teras, memandangku dengan sorot mata heran.
“Laura, gue cinta sama lo!!” seruku mirip orang gila.
Laura mengernyitkan muka dengan ekspresi aneh. “Sinting!” cetusnya sambil berbalik. Ada semburat kemerahan di pipinya yang putih.
Aku meringis senang. Ah, aku benar-benar menyukai Laura!!
***
trus.. lauranya jadian atau gmn
ReplyDeletehehe gak jadian tapi menjurus ke situ lah.
Delete