REVIEW THE MIDNIGHT STAR
Judul: The Midnight Star
Penulis: Marie Lu
Penerbit: Mizan Fantasi
Cetakan: I, Oktober 2017
Tebal: 384 halaman
ISBN: 978-602-385-185-0
Blurb:
Adelina pikir, tiada lagi penderitaan. Dia telah membalas dendam pada mereka yang mengkhianatinya. Sang Serigala putih memenangi takhta Kenettra, tapi seiring bertambahnya kekuasaan, dia menjadi semakin kejam. Kegelapan dalam dirinya semakin tak terkendali, ingin menghancurkan semua yang ada di dekat Adelina.
Kemudian ancaman baru muncul, dan Adelina beserta para Mawar mau tak mau harus bekerja sama dengan para Belati untuk menghadapinya. Namun, aliansi mereka yang sarat kecurigaan dan pengkhianatan mungkin lebih berbahaya dari apa pun. Bagaimanakah nasib para Elite selanjutnya?
Review:
Setelah menjadi Ratu Kenettra, keinginan Adelina untuk menaklukkan daerah-daerah lain semakin besar. Dengan kekuasaan dan kekuatannya, mudah baginya untuk memerintah dan memberi penawaran agar orang-orang mau jadi pengikutnya.
Sementara itu, akibat tindakan Maeve yang menghidupkan Tristan dan Enzo, hawa pekat dari alam kematian mulai meracuni dunia. Raffaele yang menyadari hal itu, berusaha mencari solusi. Dan, solusi yang ditemukannya harus mempertemukan pihak-pihak yang bersiteru sebelumnya: para Mawar dan para Belati.
Tak mudah untuk menyatukan visi demi menyelamatkan dunia dari alam kematian. Terlebih dengan pikiran negatif yang terus merongrong kepala Adelina. Ketika pada akhirnya para Elite yang terhubung dengan kedua belas dewa memulai perjalanan menuju tempat asal Elite, Adelina harus mendapati kenyataan Violetta tak kuat menahan kekuatan Elite-nya. Violetta pun meninggal, membuat Adelina dirundung penyesalan, karena sempat bersitegang dengan adiknya tersebut.
Adelina, Magiano, Raffaele, Maeve, Lucent, dan Teren akhirnya sampai di tempat para dewa. Di sini lah keputusan para Elite untuk menyerahkan kekuatannya diuji. Adelina dilanda kebimbangan yang berat. Akhirnya, dia pun mengambil keputusan terakhir—pengorbanan sang kakak demi adiknya yang telah tiada.
***
Sebagai ratu baru Kenettra, Adelina memerintah dengan kejam dan tanpa kenal ampun. Apabila dia melihat orang yang menentangnya, Adelina tak segan memberinya hukuman. Adelina belajar dari masa lalu tak ada gunanya berbelas kasihan pada orang lain. Agar rakyatnya patuh, maka dia harus menunjukkan kekuatannya secara penuh.
Kalau aku bisa mempelajari sesuatu dari masa lalu dan masa kiniku, itu adalah kekuatan yang ditimbulkan oleh rasa takut. Kau bisa memberi rakyatmu seluruh kemurahan hati yang tersebar di dunia, tapi mereka pasti akan meminta lebih. Namun, mereka yang ketakutan tidak akan melawan. Aku benar-benar sudah memahaminya. (hal. 29-30)
Keberadaan Tristan dan Enzo yang menyalahi takdir, menjadi awal mula rusaknya tatanan kehidupan di dunia manusia. Hawa pekat dari alam kematian mulai membanjiri dunia manusia. Kekuatan para Elite pun menjadi bumerang, karena mengancam keselamatan mereka.
Saat itulah, Raffaele menyadari bahwa cuma para Elite yang bisa membuat keadaan kembali normal. Caranya yaitu dengan pergi ke tempat Elite pertama muncul dan menyeberang ke dunia dewa. Sayangnya, susah bagi Adelina untuk memercayai Raffaele. Terlebih saat dia tahu selama ini Violetta berlindung pada Raffaele.
Jadi mengapa aku harus membantu seorang pembohong dan pengkhianat? Setelah semua yang telah diperbuat para Belati padaku, apakah Raffaele benar-benar berpikir bahwa aku akan berjuang demi hidup mereka hanya karena dia memanfaatkan adikku untuk melawanku? Aku Serigala Putih, Ratu Sealand—tetapi bagi Raffaele, aku hanya orang yang menjadi berguna lagi, dan itu membuat dirinya tertarik padaku sekali lagi. (hal. 164-165)
Kematian kembali Enzo membuat Adelina berubah pikiran. Racun dari alam kematian benar-benar merusak. Dia pun menerima tawaran Raffaele untuk pergi ke tempat di mana para Elite bermula.
Kini, para Elite bersatu padu demi tujuan yang sama, yaitu menyelamatkan dunia. Teren yang awalnya adalah musuh Adelina pun masuk ke dalam tim, karena kekuatannya berkaitan erat dengan Malaikat Perang. Sayangnya, keadaan Violetta yang makin memburuk tak bisa diselamatkan. Meski demikian, para Elite tetap bisa memasuki dunia para dewa, karena sejatinya jiwa Violetta telah lebih dulu berada di sana.
Pertemuan Adelina dan Moritas, sang Dewi Kematian membuahkan kesepakatan. Untuk mengakhiri wabah berdarah, maka Adelina harus menyerahkan kekuatannya. Adelina menyanggupi permintaan Moritas tersebut. Namun, saat hendak kembali ke dunia manusia dan melihat jiwa Violetta, Adelina berubah pikiran. Dia ingin adiknya hidup. Itu artinya, Adelina harus rela menukar jiwanya.
Tentu mengejutkan melihat pilihan yang diambil Adelina. Di satu sisi, ada Magiano yang menunggunya. Dia punya masa depan bersama pemuda itu. Namun, di sisi lain ada rasa bersalah yang besar, karena Adelina merasa dirinya lah penyebab adiknya meninggal. Sekilas, pengorbanan Adelina untuk adiknya tampak mulia dan heroik. Namun, motivasinya tak sesederhana itu. Ada unsur egoisme di sana. Lebih tepatnya, egoisme yang berbalut dengan kebaikan.
Selain plotnya yang tak tertebak, sangat menarik memerhatikan perkembangan karakter dalam trilogi The Young Elites. Terlihat jelas Marie Lu berusaha menyuguhkan karakter yang bersifat dualisme, di mana kebaikan dan keburukan yang sejatinya bertentangan dimiliki oleh seorang tokoh.
Ambil contoh Teren yang sejak awal dikisahkan begitu kejam pada para malfetto. Meski kejam, tapi pada dasarnya Teren adalah sosok religius yang merasa punya keterikatan kuat dengan para dewa. Lain halnya dengan Magiano. Dia pembawa kebahagiaan, tapi di satu sisi dia pun serakah. Hal-hal semacam inilah yang menjadikan tokoh-tokoh ini tak bisa sepenuhnya dibenci atau disukai.
Lewat penggambaran karakter tersebut, dapat disimpulkan tak ada manusia yang suci dan tanpa dosa. Karena itulah, jangan merasa kecil hati dan terus melihat keburukan pada diri sendiri. Sejatinya, kebaikan itu pun ada, hanya saja kita mesti pandai melihatnya. Sama seperti Magiano yang bisa melihat jauh ke dalam diri Adelina.
Tentu mengejutkan melihat pilihan yang diambil Adelina. Di satu sisi, ada Magiano yang menunggunya. Dia punya masa depan bersama pemuda itu. Namun, di sisi lain ada rasa bersalah yang besar, karena Adelina merasa dirinya lah penyebab adiknya meninggal. Sekilas, pengorbanan Adelina untuk adiknya tampak mulia dan heroik. Namun, motivasinya tak sesederhana itu. Ada unsur egoisme di sana. Lebih tepatnya, egoisme yang berbalut dengan kebaikan.
Aku menggeleng. Tidak, aku kemari demi diriku sendiri. Itu tujuanku sedari awal, untuk menyelamatkan diriku sendiri dengan kedok menyelamatkan dunia. (hal. 358)
Selain plotnya yang tak tertebak, sangat menarik memerhatikan perkembangan karakter dalam trilogi The Young Elites. Terlihat jelas Marie Lu berusaha menyuguhkan karakter yang bersifat dualisme, di mana kebaikan dan keburukan yang sejatinya bertentangan dimiliki oleh seorang tokoh.
Ambil contoh Teren yang sejak awal dikisahkan begitu kejam pada para malfetto. Meski kejam, tapi pada dasarnya Teren adalah sosok religius yang merasa punya keterikatan kuat dengan para dewa. Lain halnya dengan Magiano. Dia pembawa kebahagiaan, tapi di satu sisi dia pun serakah. Hal-hal semacam inilah yang menjadikan tokoh-tokoh ini tak bisa sepenuhnya dibenci atau disukai.
Lewat penggambaran karakter tersebut, dapat disimpulkan tak ada manusia yang suci dan tanpa dosa. Karena itulah, jangan merasa kecil hati dan terus melihat keburukan pada diri sendiri. Sejatinya, kebaikan itu pun ada, hanya saja kita mesti pandai melihatnya. Sama seperti Magiano yang bisa melihat jauh ke dalam diri Adelina.
"Kau adalah seribu hal, mi Adelinetta, bukan hanya satu. Jangan membatasi dirimu pada satu hal saja." (hal. 256)
Buku pamungkas Trilogi The Young Elites ini menjawab segala permasalahan yang disuguhkan sedari awal. Dengan ending yang mengharu biru dan berbalut cerita rakyat, pembaca diajak ikut bersimpati atas pengorbanan Adelina. Adelina memang bukan karakter yang loveable. Tapi, hal itu pula yang membuat Trilogi The Young Elites ini begitu menarik dan menjadi salah satu seri yang layak dikoleksi bagi para penggemar novel fantasi.
Rate: 5/5 bintang
Wah, jadi pengen baca bukunya. :D Ratenya sempurna, ya?
ReplyDelete