May 6, 2014

Welkom in Malang

0


Dimuat di Majalah Chic Edisi 153 (31 Oktober 2013)
Berhubung telat diberi tahu, jadi gambar di atas berasal dari sini.

Welkom in Malang

Welkom in Malang, Toko “Oen” Die Sinds 1930 Aan De Gasten Gezelligheid Geeft.

Yoda melirik spanduk bertuliskan bahasa Belanda itu. Ia menarik tanganku, lalu berbisik pelan. “Didirikan sejak 1930? Selama itu?”

Aku mengangguk. Mata Yoda membulat tak percaya. Aku tersenyum. Yoda pernah belajar bahasa Belanda, jadi ia tahu arti kalimat itu.

“Bagus, ya.” Yoda masuk sambil mengedarkan pandangan. Ia mengagumi interior tempat ini yang bergaya klasik. Kursi rotan, kursi besi khas zaman dulu, radio kuno di sudut ruangan, juga foto hitam putih yang menghiasi dinding. Semuanya serba kuno. Duduk di sini seakan terlempar kembali ke masa lampau saat menir-menir Belanda masih menjajah tanah Jawa.

“Tempat ini mengingatkanku dengan Ragusa di Jakarta.”

“Ragusa?” Aku duduk di kursi rotan dekat jendela. Yoda duduk di depanku.

“Iya. Aku pernah makan Spaghetty Ice Cream di sana. Tempatnya juga seperti ini. ‘Bercita rasa’ kolonial.”

Aku mengangguk paham. Toko Oen memang ‘bercita rasa’ kolonial. Desain arsitektur bangunannya masih khas Belanda. Begitu pula furnitur dan interiornya. Pemiliknya sengaja tidak mengubahnya. Toko Oen pun menjadi salah satu ikon di kota Malang.

Yoda melirik meja di seberang. Ia melihat dua turis asing makan es krim dengan lahap. Mereka berbicara bahasa Belanda. Mata mereka menatap sekeliling dengan kagum.

Saat aku memerhatikan lebih saksama, ada empat turis asing lain di sini. Toko Oen memang menjadi salah satu destinasi turis asing. Selain makanan yang disajikan enak, mereka mengaku suka suasana klasik yang ditawarkan tempat ini.

Setelah asyik mengagumi Toko Oen, aku pun memesan menu yang difavoritkan di sini, yaitu Oxtongue Steak. Oxtongue Steak adalah bahasa Belanda untuk steak lidah sapi.

Yoda sendiri memesan Moorkus, es krim bercita rasa kopi yang dihiasi whipped cream dan kismis. Yoda memang penggila es krim. Meski cuaca bulan Juli di kota Malang cenderung dingin dan berangin, tapi tidak menyurutkan keinginannya untuk makan es krim.

“Aku suka kalimat yang tertulis di sini. A Colonial Landmark since 1930.” Yoda menunjukkan buku menunya padaku. Perhatiannya teralih saat pramusaji mengantarkan pesanan ke meja kami. Ia tersenyum manis padaku dan Yoda. Yoda memerhatikan pakaian pramusaji itu yang bergaya kolonial—safari putih dan peci hitam.

“Sekarang kau masih berpikir kota yang kutinggali tidak menarik?” Aku mengangkat alisku tinggi-tinggi.

“Baiklah, aku berubah pikiran. Kota ini seru juga.” Yoda menyendok es krimnya. Matanya terpejam, menikmati rasanya.

“Enak?”

Yoda mengangguk kecil. Aku tersenyum sambil memerhatikan Yoda. Ada sesuatu yang membuatku merindukan kehadirannya begitu aku pindah dari Bandung ke Malang untuk urusan pekerjaan.

Tak mudah awalnya tinggal di sini setelah sekian lama hidup di Bandung. Aku tak pandai berbahasa Jawa. Tiap kali mendengar orang berbahasa Jawa, aku merasa terdampar di dunia antah berantah. Tapi, untunglah setelah beberapa bulan beradaptasi, aku mulai mengerti bahasa Jawa, meski lidahku lebih suka berbahasa Indonesia.

Steak-mu kelihatan enak.” Yoda menatap piringku dengan tatapan penuh minat.

Aku tertawa kecil. Segera saja kuiris steak-ku menjadi satu potongan kecil, lalu kutusuk dengan garpu.

“Mau?” tawarku.

Yoda tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia membuka mulut. Kusorongkan garpuku ke mulutnya. Yoda mengunyah steak lidah sapiku dengan mata terpejam nikmat.

“Dagingnya lembut. Bumbunya juga pas. Perpaduan yang lezat di lidah,” komentar Yoda ala kritikus makanan.

Aku tertawa. Yoda tak pernah berubah. Tiap makan di restoran mana pun, ia akan mencicipi makanan yang kupesan. Setelah itu, ia akan bergaya ala Pak Bondan Winarno—mengomentari apapun yang masuk ke mulutnya. Kalau sesuai selera, ia akan memuji koki yang memasaknya dengan gaya hiperbolis. Kalau tak sesuai lidahnya, tak jarang ia memberi komentar yang menyakitkan telinga.

Kutatap wajah Yoda lekat-lekat. Tak ada yang berubah dalam diri laki-laki yang duduk di hadapanku ini. Rambutnya yang berombak dan kecokelatan selalu dikuncir di atas tengkuk. Hari ini pun ia memakai pakaian kebangsaannya—celana jins, kaos tanpa lengan, dan topi pet. Penampilan kasual dan apa adanya khas Yoda.

“Jadi, apa yang membuatmu betah di Malang? Selain tempat ini tentunya,” tanya Yoda sambil menyendok es krimnya.

“Banyak. Suasananya, makanannya, orang-orangnya. Malang tidak jauh berbeda dengan Bandung. Masih asri.”

“Karena itu kau enggan pulang ke Bandung?”

“Bukan begitu. Aku cuma sibuk dengan pekerjaan, bukannya tidak ingin pulang.”

“Jangan-jangan ada pacar baru?” goda Yoda. Matanya sedikit memicing.

“Tidak mungkin kan? Aku selalu setia pada Yoda Pribumi. Pecinta es krim, Belanda, dan pernak-pernik berbau kereta api.”

“Oh, ya?”

“Tentu saja.”

Yoda tersenyum simpul. “Hmm, aku masih belum percaya.”

“Jadi, aku tidak bisa dipercaya?”

“Susah sekali berhubungan jarak jauh. Memercayai sesuatu yang tidak tampak lebih sulit dari yang kuduga sebelumnya.” Yoda mengatakannya seraya melempar tatapan ke luar jendela.

Mendadak suasana berubah suram. Aku mengikuti tatapan Yoda. Di luar, petang mulai menjelang. Jalanan redup. Langit berubah jingga kemerahan. Lampu-lampu pun menyala terang, mengiringi matahari yang lengser ke peraduan.

Tatapan Yoda kosong. Aku tak bisa membaca apa yang ada di benaknya.

Kurasakan angin menghembus dingin. Yoda mengelus lengannya yang kedinginan.

“Malam di sini dingin, karena sedang musim kemarau. Mau pakai jaketku?” tawarku.

“Tidak, terima kasih.” Yoda menggeleng pelan. Ia kembali menatap ke luar jendela.

“Kau tidak percaya padaku?” Kupegang erat jemarinya yang dingin.

Yoda memandangku. Kami bertatapan dalam sunyi. Suara denting sendok yang beradu dengan piring, percakapan pengunjung, dan langkah kaki pramusaji mengantar percakapan tanpa suara kami.

Aku berusaha menyelami bola matanya. Bisa kulihat mata itu menyimpan kesedihan. Juga kerinduan yang mendalam. Ekspresi yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku segera mengeratkan genggamanku. Yoda menarik tangannya, membuatku merasa ditolak.

“Kau sibuk dengan duniamu sendiri, Agni. Kesibukan menyita perhatianmu.”

Aku tersentak mendengarnya. Aku tahu ini salahku. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga menelantarkannya. Komunikasi yang awalnya intens, mulai mengendur. Lambat laun menjadi jarang, lalu berhenti sama sekali.

Kupikir Yoda tidak masalah dengan itu semua. Ia sangat easy going. Ia mudah diajak kompromi. Kupikir ia pasti mengerti betapa beratnya kepindahanku. Aku harus beradaptasi dengan lingkungan baru, juga target pekerjaan yang mencekik. Semua hal itu mesti kulalui dalam satu waktu, sehingga aku tidak punya cukup waktu untuknya.

“Maaf.” Aku berbisik lirih.

“Bukan salahmu. Harusnya aku tahu betapa sibuknya Agni Pradipta Anggraini. Wanita perfeksionis, bertanggung jawab, dan pekerja keras. Bagimu pekerjaan adalah segalanya.” Yoda memasang wajah ceria. Bibirnya tersenyum, meski bukan senyum tulus. Ada raut terluka di balik senyumnya.

“Aku akan berangkat minggu depan.” Yoda mengatakan itu setelah menghabiskan separuh es krimnya.

Aku membisu. Tanganku memotong steak, tapi pikiranku berkelana, teringat saat beberapa hari lalu Yoda menghubungiku. Ia bilang ingin berlibur ke Malang. Ia mengatakannya dengan nada ceria di telepon. Sesudah itu, Yoda berkata ada sesuatu yang ingin dibicarakannya. Sesuatu tentang masa depan, juga tentang kami.

“Seperti yang kubilang kemarin, aku akan melanjutkan S2 di Belanda.”

“Baguslah kalau begitu.” Aku tersenyum tulus.

“Aku tidak tahu berapa lama akan tinggal di sana.”

“Bukannya tinggal di Belanda adalah impianmu?”

“Bukan itu masalahnya.”

“Lalu?” Aku menatapnya bingung.

“Kupikir aku harus tahu bagaimana status hubungan kita. Itulah alasanku kemari menemuimu. Kau tahu aku tidak mungkin membicarakan ini di telepon. Apalagi dengan kesibukanmu yang menggila itu.”

Aku hanya diam. Kugigit potongan steak. Entah kenapa aku tak berselera memakannya.

“Aku butuh kepastian. Maksudku, aku tidak bisa seperti ini terus.” Yoda menghembuskan napas lelah. “Aku ingin memercayaimu, tapi kau tidak ada di hadapanku. Aku tidak bisa menghubungimu. Ini semua… membuatku frustasi…”

Yoda menghela napas dalam-dalam. Setelah lega, ia tersenyum lebar, seolah tak terjadi apa-apa.

“Kalau memang aku mengganggu, aku ingin kita putus baik-baik. Kau bisa berkosentrasi pada pekerjaanmu. Aku bisa fokus pada kuliahku. Tak ada yang direpoti. Tak ada yang tersakiti.”

Aku meletakkan pisau dan garpuku. “Apa ini yang kau inginkan?”

Yoda mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Yang kutahu, kau tidak peduli padaku. Tidak peduli pada hubungan kita.”

Keningku berkerut marah. Aku tidak suka kata-katanya. “I love you, Yoda! Dari dulu sampai sekarang, aku selalu mencintaimu!”

“Kalau cinta segampang mengatakannya, Agni, aku tidak akan merasa diabaikan. Aku begitu memikirkan hubungan kita, mencoba selalu memahami kesibukanmu, sementara apa yang kau lakukan? Kau tidak peduli. Kau bisa tidur nyenyak, bahkan tanpa berkata selamat tidur padaku. Apakah itu cinta yang kau maksud? Cinta tanpa kepedulian?”

Aku tercekat. Itukah yang aku lakukan?

“Aku tidak minta semua waktumu untukku. Aku tidak seegois itu. Aku hanya ingin kau menempatkanku dalam hari-harimu. Menempatkanku dalam posisi sama dengan pekerjaanmu. Pada apa yang kau anggap penting dalam hidupmu.”

Aku tak sanggup berkata-kata. Ucapan Yoda menghantamku, seperti ombak besar yang datang bergulung-gulung. Ia seolah menghempaskanku yang berlindung dalam perahu kayuh.

Aku enggan mengakuinya. Tapi, kata-kata Yoda benar. Aku terlalu fokus pada pekerjaanku. Aku ingin memukau kantor pusat. Aku ingin dianggap berhasil karena mengepalai kantor cabang. Aku begitu terobsesi, sehingga tanpa sadar mengorbankan Yoda yang tak tahu apa-apa. Aku mengorbankan hubungan kami.

Yoda terdiam. Matanya terarah pada pintu masuk. Tatapannya hampa.

“Maaf…” Aku hanya bisa mengatakan itu sambil menunduk.

“Ini bukan salahmu, Agni.”

“Yoda…”

“Hmm?”

“Aku memang egois, tapi aku tidak mau berpisah darimu.”

“Aku tidak ingin terbebani perasaan seperti ini saat aku sudah di Belanda.” Yoda menatapku. Sorot matanya berpendar pedih. “Aku ingin kita break untuk sementara waktu. Kita bisa sama-sama introspeksi diri.”

“Jadi, itu keputusanmu?”

Yoda mengangguk. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa menatap steak lidah sapiku yang mulai mendingin. Aku benar-benar kehilangan selera makan sekarang.

Tiba-tiba saja, Yoda menunjuk ke arah etalase kuno di hadapan pintu masuk. Ia menatapnya penuh minat. “Sepertinya kue yang dipajang di etalase itu enak. Belikan untukku, ya? Anggap saja permintaan terakhir sebelum aku pergi,” pintanya seraya berdiri.

Aku mengikuti kemauannya. Kuperhatikan wajah Yoda. Ia begitu tampan dan menawan. Tanpa sadar aku menggenggam erat tangannya. Tanganku gemetar.

Seketika Yoda menoleh. Alisnya bertaut. “Ada apa?”

Aku tidak menjawab pertanyaan Yoda. Ketakutan menyergapku. Seolah aku tidak bisa melihat Yoda lagi setelah ini.

***

Lima Tahun Kemudian…

Welkom in Malang, Toko “Oen” Die Sinds 1930 Aan De Gasten Gezelligheid Geeft.

Spanduk itu masih terpasang di sana. Aku menatapnya lama, teringat Yoda saat pertama kali datang dan takjub dengan tempat ini.

“Agni, itu artinya apa?”

Aku menoleh. “Artinya ‘Selamat datang di Malang, Toko Oen sejak tahun 1930 telah memberikan suasana nyaman’.”

“Hmm… bagus juga.”

Tangan itu menarikku. Dari belakang, aku bisa melihat rambut berombak kecokelatannya yang dikuncir di atas tengkuk. Ia tersenyum lepas, tanpa beban. Ia memakai celana jins dan kaos tanpa lengan. Penampilan cuek khas Yoda. Entah kenapa aku merasa tengah bernostalgia dengan Yoda.

Yoda yang lain.

“Tempatnya klasik.” Ia melihat sekeliling. “Ehm, di sini ada es krim rasa blueberry?” tanyanya.

“Ada tidak, ya?” Aku duduk, lalu membuka buku menu. “Bagaimana kalau Moorkus? Es krim rasa kopi dengan topping whipped cream dan kismis?” tawarku.

“Hmm… boleh.”

Aku tersenyum. Ia mengacak rambutku, menatapku dengan tatapan memuja, seolah hanya aku wanita paling cantik sedunia.

Di depanku ada laki-laki mirip Yoda. Aku terkenang lagi. Dua tahun lalu kudengar Yoda menikahi wanita Belanda. Ia memutuskan menetap di sana dan tidak akan kembali ke Indonesia.

Aku kecewa. Karena Yoda-ku sudah pergi, aku pun mencarinya pada diri orang lain. Itulah caraku mengusir rasa rinduku selama bertahun-tahun ini.

0 comments:

Post a Comment