REVIEW ROBINSON CRUSOE
Judul: Robinson Crusoe
Penulis: Daniel Defoe
Penerbit: PT. Elexmedia Komputindo
Cetakan: I, 2018
Tebal: 357 halaman
ISBN: 978-602-04-7827-2
Blurb:
"Pikiranku sejak dini mulai dipenuhi keinginan untuk mengembara. Ayah menginginkan aku masuk sekolah hukum, tetapi aku hanya tertarik untuk menjadi pelaut."
Di kala muda, Robinson Crusoe menurutkan kata hatinya untuk berangkat melaut, melanggar keinginan dan perintah orangtuanya. Bermacam pengalaman buruk maupun baik didapatkannya. Keberuntungan sempat menghampiri, tapi keserakahan hatilah yang mengubah keseluruhan hidupnya. Setelah menjadi satu-satunya awak yang selamat dari amukan badai yang menghancurkan kapal, dia terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni.
Pada saat itulah petualangan besarnya dimulai. Dalam kesendirian. Lebih dari tiga dekade lamanya.
Review:
Robinson Crusoe merupakan novel klasik karangan Daniel Defoe yang terbit pada tahun 1719. Novel ini mengisahkan pengalaman Robinson Crusoe setelah dia tak mengindahkan nasihat ayahnya untuk pergi melaut. Pengaruh darah muda lah yang membuat Robin tak peduli nasihat ayahnya. Dia pun pergi melaut dengan menumpang pada sebuah kapal. Semenjak melaut, petualangan Robin pun dimulai. Mulai dari kapal yang ditumpanginya pernah terjebak badai, Robin dijadikan budak, memiliki perkebunan di Brazil, hingga akhirnya dia terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni.
Di pulau inilah Robin berusaha mengandalkan instingnya untuk bertahan hidup. Pengalamannya tersebut ditulis secara runtut, rinci, dan deskriptif, nyaris menyerupai memoar. Pembaca diajak melihat bagaimana perjuangan Robin untuk memenuhi hajat hidupnya, seperti cara membuat rumah, mencari dan menemukan makanan, hingga pakaian yang dikenakannya. Dari segi sastra sendiri, kisah Robin ini mengilhami genre baru yang dinamakan Robinsonade, yang mana adalah sebuah kisah dengan tokoh protagonis yang terisolasi di sebuah pulau tak berpenghuni (sumber: Wikipedia). Saat terisolasi, mau tak mau sang tokoh utama akan berusaha menggunakan kecerdasannya untuk bertahan hidup. Dari usahanya tersebut, maka akan memunculkan konflik, baik konflik internal maupun eksternal yang dirasakan sang tokoh utama.
Bagi beberapa pembaca, kisah Robinson Crusoe memang tampak membosankan, dikarenakan minimnya dialog yang dimunculkan. Meski demikian, dengan segala bentuk deskripsi tempat dan suasana yang ada, pembaca digiring untuk mengetahui situasi yang dirasakan Robin. Dalam novel ini, Robin diceritakan seakan mendapat kutukan karena tak mengindahkan nasihat ayahnya. Dia pun mendapat balasan dengan merasakan amukan badai yang nyaris mengancam nyawanya. Namun, rupanya Robin masih beruntung, sehingga hidupnya tak langsung berakhir begitu saja. Lewat perenungan mendalam atas apa yang dia alami, Robin pun mengetahui esensi kehidupannya sendiri. Bahwa kenekatannya di masa lalu dan penderitaan yang dia rasakan, berujung pada kedekatannya pada Sang Pencipta.
Bisa dibilang novel ini mengandung unsur spiritual yang sangat kental. Robin sendiri digambarkan begitu manusiawi di mana kadang dia merasa begitu terberkahi oleh rahmat Tuhan, namun kadang dia melupakan campur tangan Tuhan dalam kehidupannya. Naik turun sisi religius Robin memang menjadi daya tarik. Pembaca bisa melihat bagaimana pemikiran-pemikiran mengenai Tuhan membuat Robin menjadi lebih bijak, selalu mengingat Tuhan, bisa melihat hal lain di balik penderitaannya, dan tak lupa bersyukur atas apa yang dia peroleh.
Kehidupan monoton Robin di pulau tak berpenghuni mulai semarak saat tokoh Friday muncul. Dikisahkan Friday adalah seorang manusia liar yang ditawan dan hendak dimangsa oleh para kanibal. Pada masa itu diceritakan banyak manusia liar yang berperang satu sama lain. Ketika menang, maka manusia yang menjadi tawanan akan dibakar dan dimakan ramai-ramai. Friday yang merasa berutang budi karena diselamatkan Robin, mulai mengikuti arahan Robin untuk meninggalkan sifat kanibalismenya. Di sini bisa dilihat bahwa Robin berperan bak sosok nabi yang mengarahkan Friday untuk menjadi manusia seperti dirinya, serta memberi pengertian akan adanya keberadaan Tuhan.
Meski awalnya Robin merasa menderita karena harus hidup sendirian, namun pada akhirnya semesta berpihak padanya. Semenjak kedatangan Friday dan upayanya untuk keluar dari pulau, keberuntungan perlahan mendatanginya. Robin bahkan mendapati harta yang ditinggalkannya di Brazil melimpah, melebihi ekspetasinya semula. Dari sini bisa disimpulkan bahwa sejatinya di balik kesedihan atau penderitaan yang dialami, maka akan ada kebahagiaan yang menanti di kemudian hari.
Selain kisah hidup Robin, novel ini menguak sedikit cerita mengenai perdagangan budak orang Negro pada tahun 1600-an. Memang tidak dijelaskan secara rinci, tapi bisa dilihat bagaimana dominannya orang kulit putih dalam hal mengeskploitasi orang Negro. Orang-orang Negro ini diperbudak dan diperjualbelikan untuk dijadikan pekerja di perkebunan. Robin sendiri karena kerakusannya ingin memiliki budak dengan harga murah, maka dia pun berlayar untuk mencari manusia liar yang hidup di pulau terpencil. Itu pula salah satu alasan kenapa Robin bisa terdampar di pulau tak berpenghuni, yang pada akhirnya membuat hidup Robin terisolasi selama tiga dekade lamanya.
Dilihat dari kontennya, novel ini memang menarik sekali, terutama bagi pembaca yang ingin melihat sisi spiritual dari seorang Robinson Crusoe. Terakhir, karena banyak sekali kalimat yang quotable, maka akan dijabarkan di bawah ini. Selamat membaca!
Itulah yang seharusnya aku dan orang-orang lain renungkan bahwa saat mereka membandingkan keadaan mereka yang sekarang dengan orang lain yang lebih buruk, Tuhan mungkin mewajibkan mereka mengadakan pertukaran tempat untuk menyadarkan kebahagiaan mereka sebelumnya melalui pengalaman yang mereka alami. (hal. 42)
Secara keseluruhan, inilah kesaksian tak terbantahkan bahwa sekalipun kehidupan di dunia ini begitu mengerikan, selalu ada sesuatu yang negatif dan positif yang bisa disyukuri. Semoga hal ini menjadi suatu tonggak arahan dari pengalaman kehidupan yang paling menyedihkan di dunia ini: bahwa kita selalu bisa menemukan di dalamnya sesuatu untuk menghibur diri kita, dan untuk memilih jalan hidup kita di antara hal yang baik dan jahat. (hal. 77)
Walaupun keadaanku menyedihkan, tetapi aku memiliki banyak alasan untuk bersyukur, karena aku tidak kekurangan makanan. Sebaliknya, makananku sangat melimpah. (hal. 131)
Sekarang aku mulai merasakan betapa membahagiakannya hidup yang kini kujalani, dengan semua penderitaannya, daripada kehidupan buruk yang kulalui sebelumnya. (hal. 134)
"Bagaimana mungkin kau bisa menjadi seseorang yang munafik," kataku pada diri sendiri keras-keras. "Kau berpura-pura berterima kasih untuk keadaan yang sebenarnya ingin sekali kau akhiri." Akhirnya walaupun aku tidak dapat bersyukur pada Tuhan atas keberadaanku di tempat ini, tetapi aku dengan tulus bersyukur pada Tuhan karena membuka hatiku, bagaimanapun cara yang ditempuh-Nya, sehingga aku dapat menyadari jalan hidupku sebelumnya, meratapi kejahatanku, dan menyesalinya. (hal. 135)
Bukankah berbincang-bincang bersama pikiranku sendiri dan bahkan dengan Tuhan sendiri merupakan hal yang jauh lebih baik daripada kenyamanan yang ada dalam masyarakat manusia di dunia ini? (hal. 159)
Aku ingin agar semua orang yang hidupnya mengalami berbagai peristiwa luar biasa seperti yang kualami, atau bahkan sekalipun tidak seluar biasa pengalamanku, berusaha mencari tahu apa yang ada di balik semua keadaan itu. (hal. 204)
Jadi, apa yang menyelamatkan seorang manusia, bisa jadi menghancurkan manusia lainnya. (hal. 216)
Dalam keadaan ini, aku sering memikirkan penyakit umum manusia, yang menurut pengalamanku, menambah setengah dari penderitaan yang ada. Penyakit itu adalah rasa tidak puas terhadap apa yang diberikan Tuhan maupun alam. (hal. 226)
Namun, karena Tuhan itu Mahakudus dan Mahaadil, Dia tidak dapat dikecam. Sebaliknya, jika semua semua makhluk ini dihukum karena berdosa terhadap cahaya yang, seperti dikatakan Kitab Suci, merupakan sebuah hukum bagi mereka. Hukum seperti ini dapat ditemukan oleh hati nurani mereka sebagai suatu hal yang adil, sekalipun pondasinya belum dibukakan bagi kita. Kedua, karena kita semua adalah bejana di tangan pengrajin, tidak ada bejana yang bisa berkata kepadanya, "Mengapa engkau menciptakan kami?" (hal. 242)
Dia merenungkannya selama beberapa waktu. "Ya, ya," katanya benar-benar gembira, "itu bagus. Jadi, kau, aku, iblis, semua makhluk terkutuk, diselamatkan, bertobat, dan diampuni oleh Tuhan." (hal. 254)
Rating: 4/5 bintang
0 comments:
Post a Comment