Nov 22, 2015

Ann dan Ray

0

https://www.cekaja.com/info/kompetisi-menulis-cerpen-cinta-atau-uang-keputusancerdas/?utm_source=twitter&utm_medium=social&utm_campaign=Blog

Ann dan Ray
Oleh: Eni Lestari

Pagi Ann dimulai dengan membuka halaman buku terakhir yang ia baca malam sebelumnya.

Pagi Ray dimulai dengan keinginan kuat untuk membakar semua buku-buku Ann.

Ah, tapi Ray tidak mungkin setega itu. Alhasil, ia biarkan buku-buku Ann mengisi hampir setiap sudut rumahnya. Buku-buku itu menumpuk, mirip menara Pisa yang miring ke samping. Ray yakin satu goncangan saja akan membuat buku-buku itu berjatuhan. Ray menunggu hal itu terjadi. Nyatanya, tak ada pertanda gempa selama setahun terakhir. Meski miring, buku-buku itu tetap bergeming di tempatnya. Sesekali Ann akan memeriksanya sambil lalu dan membersihkannya dari debu yang menempel pada sampul dan celah halamannya.

Nyaris tiap hari, Ray mencoba menahan diri untuk tidak mencabik buku-buku itu menjadi serpihan. Ray tidak tahu sejak kapan ia jadi makhluk pembenci seperti itu. Yang jelas, ia muak melihat buku-buku Ann. Atau mungkin ia muak melihat sumber kebahagiaan Ann. Sementara sumber kebahagiannya sendiri telah lenyap tak berbekas.

“Kopi?”

Ray menggeleng, menjawab tawaran Ann. Sembari membawa mug yang menguarkan aroma kopi, Ann pergi ke teras. Ini juga salah satu rutinitas lain Ann di hari-hari biasa—yang baru diketahui Ray enam bulan terakhir. Ketika akhir pekan, Ann lebih suka menghabiskan waktu bersama Ray menyusuri mal, berlama-lama di toko buku, wisata kuliner, atau menikmati ombak di tepi pantai. Itu juga kalau Ray tidak disibukkan dengan meeting di luar kota. Selebihnya, Ray nyaris tak tahu apa saja yang dilakukan istrinya di rumah. Mau bagaimana lagi, Ray memang workaholic yang lebih suka menghabiskan hari-harinya di kantor.

Ray duduk termenung, menatap jarum jam yang bergeser. Detik demi detiknya begitu menyiksa, membuat Ray nyaris kehilangan kontrol diri dengan membanting jam dinding itu ke lantai. Ray menghela napas. Mungkin rasa frustasinya sudah di ambang batas. Ia merasa seperti diolok-olok. Seakan-akan kehadirannya di rumah ini cuma beban. Seakan ia cuma seonggok daging yang tak memberi manfaat apa-apa.

“Ray, ada apa?”

Ray terperanjat ketika Ann menunduk menatap wajahnya. Ia tidak mendengar langkah kaki istrinya itu memasuki dapur. Rupanya Ann hendak mengambil camilan di lemari dapur.

“Ada masalah? Atau kau mau dimasakkan sesuatu? Nasi goreng, mungkin?”

Ray diam saja. Alih-alih menyahut, Ray berdiri. Sedikit terhuyung karena pusing, ia berjalan ke kamarnya. Tinggal di rumah tanpa melakukan apa-apa membuatnya tak nyaman. Sejenak ia menyesali keputusannya enam bulan lalu. Keputusan yang juga disetujui Ann, tapi memberi dampak yang besar bagi kehidupan Ray.

“Ray,” panggil Ann.

Ray menoleh. Matanya memandang sengit.

Ann tersenyum tipis—senyum penuh pengertian yang kerap ditunjukkannya. Ia mendekat, lalu memegang lengan Ray. “Kalau ada sesuatu yang kau butuhkan, bilang padaku. Oke?”

Ray membuang muka. Matanya mengerling, tertuju pada kardus besar yang dibawa kurir setengah jam lalu—buku-buku pesanan Ann yang berjubelan di dekat tangga. Ia mendengus, teringat surat yang baru dibacanya yang teronggok di meja ruang tamu. Spontan saja Ray menunjuk buku-buku itu dengan tatapan tidak suka.

“Bisakah kau menyingkirkan buku-bukumu?”

“Buat apa?” Ann mengernyitkan alis, bingung.

“Lupakan. Aku mau pergi.” Ray menepis tangan Ann kasar. Langkahnya berderap memasuki kamar. Tak sampai semenit, ia keluar sambil membawa ponsel, dompet dan topi. Tanpa berpamitan, Ray melintasi dapur, meninggalkan Ann yang berdiri mematung, memandang punggungnya yang menghilang di balik pintu.

***

Ketika pikirannya mulai jernih, Ray sadar kelakuannya kekanakan. Seharusnya ia tidak bersikap kasar pada Ann. Selama enam bulan ini, istrinya itu tak marah, apalagi protes dengan kehidupannya. Bahkan ketika Ray berhenti memberinya uang bulanan karena saldo rekeningnya menipis, Ann hanya menanggapinya dengan senyum dan pelukan ringan.

“Aku mengerti. Lakukan saja apa yang kau mau, Ray.” Begitu ujar Ann pengertian.

Seharusnya, Ray senang. Ann istri yang tak banyak menuntut, ia partner yang sempurna. Hanya saja, ego Ray yang menjulang tak membiarkannya begitu saja. Ia merasa menjadi suami yang gagal. Seharusnya sebagai tumpuan hidup Ann, ia tak menuruti idealismenya yang kolot. Seharusnya ia tak memutuskan resign dari kantor, kalau pada akhirnya ia kesulitan mendapat pekerjaan sampai sekarang.

Ray mengisap rokoknya dalam-dalam. Ia terbatuk kecil, merasa aneh karena sudah lama tak merokok. Ray ingat komitmennya pada Ann sebelum menikah. Ia akan berhenti menghisap batang nikotin itu. Ia melakukannya demi Ann, demi menjaga perasaan Ann yang kerap khawatir dengan kesehatan paru-parunya.

Detik itu juga, Ray tahu ia telah melanggar komitmen mereka. Masa bodoh! dengus Ray. Ia butuh pelampiasan. Rokok barang murah. Paling tidak harganya masih terjangkau isi dompetnya yang tak seberapa.

Ray tertawa pendek. Tak pernah sekali pun ia berpikir akan mengalami masa-masa seperti ini. Bahkan untuk menyenangkan dirinya sendiri pun, ia tak mampu. Sungguh berbanding terbalik dengan kehidupannya dulu di mana ia tak segan mengeluarkan kocek jutaan demi memuaskan keinginannya. Gadget terbaru, jam bermerek, makan mewah, golf. Sebut saja. Ia tinggal menggesekkan aneka kartu dalam dompet dan semuanya pun tersedia.

Segampang itu. Semudah itu. Ah, Ray merindukan semuanya. Kemudahan itu kini telah menguap dan hanya menyisakan kegetiran pada dirinya.

“Pak, minta, Pak…”

Sekonyong-konyong, anak kecil berbaju kumal mendatangi Ray. Ray jatuh iba, seolah melihat dirinya sendiri. Ia merogoh saku celana dan menemukan recehan seratus rupiah, lalu memberikannya pada anak kecil itu.

“Terima kasih, Pak…”

Anak kecil itu berlalu dengan wajah lesu. Ray memandangnya putus asa, takut seandainya kelak ia bernasib sama. Saat itulah, matanya tertubruk pada sosok tinggi yang memerhatikannya dari kejauhan. Sosok itu mendekat. Matanya melebar tak percaya begitu melihat Ray.

Ray ingin kabur saat itu juga. Namun, kepercayaan diri yang entah didapatnya dari mana, menahannya untuk duduk di bangku taman. Ia tersenyum kecil, menyambut uluran tangan Richard—pria yang kini berdiri di hadapannya.

“Ray! Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Bagaimana kabarmu?”

Ray menjabat tangan Richard lemah. “Buruk,” ucapnya lesu, tak ingin berpura-pura.

Richard duduk di sampingnya, menepuk bahunya. “Kau pasti kesulitan.”

“Bagaimana kau bisa tahu?”

Richard menghela napas, matanya menerawang. Lalu, kisah demi kisah pun mengalir dari bibir Richard—mantan rekan kerja Ray dulu di kantor.

Ray mendengarkan. Kini ia tahu kenapa susah baginya memperoleh pekerjaan. Rupanya Larry lah biang keladinya. Relasi bisnis mantan bosnya itu memang tak perlu diragukan. Ia mempunyai koneksi yang cukup untuk meminta agar tak ada perusahaan mana pun yang menerima Ray sebagai pegawai. Itu adalah imbalan yang sepadan dari penolakan Ray atas tawaran yang diberikan Larry dulu.

“Kau dengar ini dari mulut Larry sendiri?” tanya Ray ingin tahu. Sedikit banyak ia merasa jijik dengan perilaku mantan bosnya yang menduduki jajaran direksi di perusahaan tempatnya bekerja dulu. Ia teringat tawaran penggelapan uang perusahaan yang pernah ditawarkan Larry. Tawaran yang tentu saja ditolak Ray mentah-mentah, dan dijadikan alasan kuat untuk resign dari kantor. Ia tak mungkin sanggup bekerja di bawah pimpinan korup seperti Larry. Meski tentu saja tak ada seorang pun yang mengetahui hal ini. Ray tak pernah membicarakannya dengan siapa pun, kecuali pada Ann.

“Waktu itu dia mabuk di sebuah bar,” cerita Richard. “Dia sendiri yang membocorkan rahasianya. Ada beberapa gadis yang mendengarnya. Kebetulan saja aku menjalin hubungan dengan salah satu gadis itu. Setelah tidak bekerja di bar, dia menceritakannya padaku.” Richard memandang Ray. “Pasti berat bagimu. Apa rencanamu setelah mengetahui hal ini?”

Ray mengangkat bahu. Ia sungguh tak tahu harus berbuat apa. Yang jelas, ia tak ingin mengecewakan Ann. Ia tak mau Ann melihatnya terpuruk dan depresi. Ia juga tak mau melampiaskan kekesalannya lagi pada Ann, seperti yang dilakukannya tadi pagi.

“Maaf, aku tak bisa banyak membantu…” Ada nada menyesal pada suara Richard.

“Tidak apa-apa. Paling tidak, aku tahu apa yang terjadi. Itu sudah lebih dari cukup.” Ray tersenyum kecut. Setelah ini ia harus membicarakannya dengan Ann. Dan yang lebih penting, ia harus meminta maaf pada istrinya itu.

***

Begitu pulang, Ray disambut pemandangan Ann yang duduk meringkuk di sudut sofa. Sebuah buku tebal berada di pangkuannya. Kebiasaan istrinya selama bertahun-tahun itu memang tidak pernah berubah.

Ray mendekat. Ann mendongak sedikit, melepaskan perhatiannya dari halaman buku yang tengah dibacanya, lalu duduk tegak. Ia menatap Ray tanpa ekspresi. Alisnya merengut ketika sekonyong-konyong Ray mengulurkan setangkai mawar padanya.

“Aku bersalah. Maafkan aku,” ucap Ray seraya menunduk.

“Kau tahu aku lebih suka diberi buku daripada mawar.” Ann meringis geli. “Eh, tunggu. Bukannya ini mawar yang kutanam di halaman? Kau memetiknya tanpa seizinku?” Wajah Ann berubah masam.

Ray terkekeh. “Tidak ada yang tersisa di dompetku. Apa aku harus membeli sesuatu yang tumbuh di halaman rumahku sendiri?”

Ann masih cemberut. Ray tertawa. Ia merangkul istrinya itu, lalu mengecup puncak kepalanya. “Aku tak akan mengulanginya lagi. Baik kejadian tadi pagi, atau memetik mawarmu tanpa izin. Maafkan aku. Oke?”

Ann memandangi wajah suaminya dari dekat. “Apa kau mau cerita apa yang terjadi? Apa yang membuatmu kesal? Apa karena surat penolakan dari perusahaan itu? Aku membacanya di ruang tamu.”

“Itu salah satunya. Surat itu datang bersama paket bukumu.” Ray mendesah. “Aku merasa tidak berguna, Ann. Aku cuma pengangguran. Aku takut kau meninggalkanku.”

“Kau tahu aku tidak mungkin melakukannya. I love you unconditionally, Ray.”

“Meski aku tak bisa menghidupimu dengan layak?” Ray beringsut menjauh, merasa gamang. “Cinta tak bisa membuatmu kenyang, Ann. Cinta tak bisa membuatmu membeli buku-buku yang kau suka. Itu yang kau harapkan dariku?”

“Kenapa kau begitu skeptis, Ray? Aku tahu ini penolakanmu yang kesekian kalinya. Tapi, aku yakin pasti ada perusahaan yang mau menerimamu.”

Ray tertunduk. Ia teringat kata-kata Richard. “Aku tidak yakin dengan hal itu.”

“Kenapa? Kau lulusan terbaik di universitas. Kinerjamu baik, bahkan melebihi ekspetasi semua orang. Seharusnya kau menjadi incaran perusahaan mana pun.” Ann menyelisik raut muka Ray yang berubah sendu. “Atau ada sesuatu yang tidak kutahu?”

Ray mengembuskan napas pendek. Ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Richard dan rahasia yang dibeberkan pria itu.

Ann melongo tak percaya. Ia memang tahu alasan Ray resign dari kantor karena menjunjung tinggi idealismenya. Ray pria yang jujur. Ia tak akan mengambil hak orang lain, atau melakukan pekerjaan kotor demi mendapat uang melimpah. Ray merasa gajinya sesuai. Fasilitas yang diterimanya dari kantor pun lebih dari cukup untuk bersenang-senang. Ann hanya tak menduga inilah buntut dari aksi Ray menolak keinginan mantan bosnya.

“Setelah mengetahui hal ini, apa yang kau harapkan dariku, Ann?” Ray menunduk. Bahu dan lengannya seolah lunglai tak berdaya.

Ann terdiam sejenak. Tiba-tiba saja ia berdiri dan berlari ke kamar. Tak lama ia kembali, lalu membanting beberapa buku tabungan ke atas meja.

“Aku akan membantumu,” ucap Ann optimis.

“Apa maksudmu? Untuk apa buku tabungan ini? Dan, tunggu, kenapa ada banyak sekali?” tanya Ray heran.

Ann tak menggubris pertanyaan Ray. “Sejak menikah setahun lalu, aku sadar kau bukan tipe orang yang berpikir jangka panjang, Ray. Kau suka sesuatu yang instan. Kau menikmati kesenangan secara cepat dan tuntas. Kau bukan orang yang berambisi besar, meski sangat workaholic. Bagimu, apa yang bisa dinikmati sekarang, harus habis saat itu juga. Sungguh, Ray, sifatmu itu kadang membuatku frustasi.”

Ray menelan ludah. Perasaan malu menyergap dirinya.

“Kau tidak pernah memikirkan investasi. Rumah ini pun hadiah dari orang tuamu. Kau berpikir ini cukup untukku dan anak-anak kita kelak. Kau tidak pernah merencanakan seandainya ada hal-hal buruk yang menimpa keluarga kita. Ya, seperti yang kau alami sekarang.”

Lagi-lagi Ray diserang perasaan bersalah. Ia tahu ujung pembicaraan Ann.

“Aku tidak bisa memaksamu untuk mengikuti kemauanku. Kita pasti akan bertengkar hebat. Akhirnya, aku melakukannya diam-diam. Aku menyisihkan sebagian uang bulanan yang kau beri dan menabungnya. Ada juga yang kubelikan emas. Aku tahu harga emas relatif stabil dan bisa dijadikan lahan investasi kecil-kecilan yang menjanjikan.”

Ray merasa mendapat angin segar. Kata-kata Ann membuat harapannya yang awalnya mengempis, mulai menggelembung. “Lalu, apa rencanamu?”

“Kita mulai semuanya dari nol. Selagi menunggu lamaran pekerjaanmu diterima—siapa tahu ada perusahaan yang tertarik—kita bisa mencoba berbisnis. Kita punya modal…” Ann mengetuk buku tabungannya. “Kita pilih bisnis yang modalnya minim dan risikonya sedikit, tapi hasilnya menjanjikan.”

Ray menimbang-nimbang usul Ann. “Aku ragu, Ann. Sepertinya tak ada bisnis seperti itu.”

Ann berdecak. Ia menggoyangkan jari telunjuknya. “Kau meremehkanku, Ray. Tentu saja ada bisnis seperti itu. Kau bahkan melihat barangnya tiap hari. Tadi pagi malah kau ingin aku menyingkirkannya.”

Mata Ray membeliak. “Maksudmu…” Ray menatap tumpukan buku-buku Ann di beberapa sudut rumahnya. Buku-buku itu ada yang baru dibeli, ada pula yang didatangkan Ann dari rumah orang tuanya dulu. Sejak kuliah, Ann memang menggilai buku. Kegemaran akan buku pula lah yang mengantarkannya menjadi penerjemah freelance. Ann tak suka banyak interaksi dengan orang. Karena itulah, ia lebih memilih pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah. Pekerjaan yang sesuai passion-nya.

“Ah, aku bisa membayangkannya.” Mata Ann terpejam. “Hari-hariku akan disibukkan dengan melayani pembeli via online. Aku harus mencatat pesanan, membungkusnya rapat-rapat, dan membawanya ke jasa pengiriman terdekat. Bagaimana menurutmu? Kita akan melakukannya berdua. Kau dan aku. Wow! Pasti sangat menyenangkan,” ucapnya semangat.

Ray melihat binar di kedua mata Ann. Binar kesungguhan, harapan, kejujuran, juga masa depan. Binar yang setahun lalu membuat Ray jatuh cinta dan memutuskan menghabiskan hidupnya bersama Ann.

Ray mengangguk setuju. Ann menjerit kegirangan dan menubruk tubuh Ray hingga terjengkang. Ray tertawa lebar. Ia balas memeluk Ann erat, tahu bahwa hidupnya terselamatkan berkat istri tersayangnya itu.

***

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com

0 comments:

Post a Comment