Nov 24, 2015

The Golem and The Jinni

0


REVIEW THE GOLEM AND THE JINNI

Judul: The Golem and The Jinni (Sang Golem dan Sang Jin)
Penulis: Helene Wecker
Alih Bahasa: Lulu Fitri Rahman
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2015
Tebal: 664 halaman
ISBN: 978-602-03-1425-9

Blurb:

Chava: golem, terbuat dari tanah liat, dihidupkan oleh rabi yang terlibat ilmu sihir hitam. Ketika majikan Chava, sang suami yang memesan pembuatan dirinya, tewas dalam perjalanan laut dari Polandia, sang golem pun bagai layang-layang putus ketika tiba di New York pada tahun 1899.

Ahmad: jin, terbuat dari api, lahir di padang pasir Suriah. Ia dijebak penyihir Beduin sehingga terkurung dalam guci tembaga berabad-abad lamanya, sampai tak sengaja dibebaskan di Lower Manhattan. Meskipun tidak lagi terpenjara, Ahmad tak sepenuhnya bebas—gelang besi mengikatnya ke dunia fisik.

Kedua makhluk ini, dengan kisah masing-masing yang tak terlupakan, membentuk jalinan persahabatan—sampai pada suatu malam, insiden mengerikan membuat mereka terpaksa kembali ke dunia masing-masing. Namun, ancaman dahsyat akan menyatukan Ahmad dan Chava kembali, menantang keberadaan mereka dan memaksa mereka untuk mengambil keputusan luar biasa.

Review:

Merasa tak mungkin mendapat istri karena pembawaannya yang angkuh dan penampilannya yang tak menarik, Otto Rotfeld mencari solusi demi mendapat seorang istri. Ia pergi menemui Yehudah Schaalman—mantan rabi yang mempelajari ilmu sihir hitam—dan minta dibuatkan golem perempuan. Schaalman menyanggupi permintaan Rotfeld. Sebagai gantinya, ia meminta imbalan yang tak sedikit. Menurutnya harga itu sepadan dengan golem buatannya yang memiliki kriteria sesuai keinginan Rotfeld.

Ketika golem itu selesai diciptakan, Rotfeld menaiki kapal dari Danzig menuju New York. Di kapal, Rotfeld mengalami serangan sakit perut yang dahsyat. Ia pun ‘menghidupkan’ sang golem dan meminta agar ia diselamatkan. Sang golem segera mencari bantuan dan menemui dokter kapal. Sayangnya, dokter tak bisa menyelamatkan nyawa Rotfeld. Rotfeld pun meninggal, yang disusul kebingungan sang golem yang kehilangan masternya.

Karena menaiki kapal tanpa tiket, sang golem memutuskan untuk menyeburkan diri ke laut. Ia pun ‘berjalan’ menuju daratan dan sampai ke New York. Berada di tempat asing dengan kemampuan yang bisa membaca keinginan semua orang, membuat sang golem gelisah. Ketika melihat seorang bocah yang kelaparan, tanpa sadar sang golem mencuri roti dan diberikan pada bocah itu. Sang golem nyaris diamuk massa, sampai seorang rabi bernama Avram Meyer menolongnya dan membawa sang golem ke rumahnya.

Rabi Mayer ‘mengasuh’ sang golem yang seperti bayi baru lahir. Oleh sang Rabi, sang golem diberi nama Chava. Ia juga mengajari Chava untuk mengontrol kekuatannya dengan cara melihat orang lain dari sikapnya, bukan dari pikirannya.

Sementara itu, di tempat lain, seorang tukang patri bernama Boutros Arbeely mendapat order dari Maryam Faddoul untuk memperbaiki guci tembaga yang usang namun terlihat indah. Ketika menggosok motif gelung pada guci itu, sentakan kuat dirasakan Arbeely. Tiba-tiba saja, dari dalam guci muncul laki-laki telanjang dengan borgol besi di lengan kanannya. Arbeely pernah mendengar dongeng tentang makhluk yang terperangkap dalam guci atau lampu minyak. Ia sadar itu bukan sekadar dongeng belaka, karena yang ada di hadapannya benar-benar jin yang keluar dari guci.

Sang jin tak ingat bagaimana ia bisa terjebak dalam guci. Hal terakhir yang mampu diingatnya hanya sang penyihir yang memasukkannya ke dalam guci. Selebihnya, ia tak ingat apa-apa. Meski ada perasaan takut karena diperbudak oleh penyihir yang menyegelnya, sang jin memulai kehidupan barunya. Ia menjadi magang di bengkel Arbeely dan berlatih mematri. Karena sang jin berasal dari padang Suriah, Arbeely pun memanggilnya dengan nama Ahmad.

Chava dan Ahmad menjalani kehidupan masing-masing, berusaha beradaptasi dengan lingkungan New York. Hingga suatu malam, ketika Rabi Mayer ditemukan meninggal di rumahnya, Chava yang linglung berjalan tak tentu arah. Saat itulah, Chava dan Ahmad bertemu. Mereka terkejut satu sama lain karena tahu mereka sama-sama bukan manusia.

Chava yang awalnya was-was dengan Ahmad, mulai membuka diri. Seminggu sekali, Ahmad mengajak Chava berjalan-jalan melintasi jalanan di New York pada malam hari. Hubungan mereka kadang diwarnai pertengkaran, tapi pada dasarnya mereka saling peduli satu sama lain. Hubungan mereka mulai retak setelah kejadian di tempat dansa yang melibatkan Anna—rekan kerja Chava di toko roti. Kesalahpahaman terjadi. Chava memutuskan menjauhi Ahmad. Mereka pun tak pernah bertemu lagi.

Sementara itu, Yehudah Schaalman yang terobsesi dengan ramuan hidup abadi, datang ke New York berkat penerawangan yang dilakukannya. Ia menyusuri pertanda demi pertanda dan sampai pada golem yang diciptakannya. Namun, rupanya bukan golem tujuannya. Sang golem hanya perantara untuk sampai pada sesuatu yang diinginkannya. Schaalman mencari lagi, hingga sampai pada kenyataan yang mengejutkan. Kenyataan yang melibatkan masa lalu dan jiwa yang tak pernah mati, yang terus berulang kehidupan demi kehidupan, selama ribuan tahun.

***

Ini bukan pertama kali aku membaca kisah yang melibatkan golem dan jin. Sebelumnya ada The Golem’s Eye dari Trilogi Bartimaeus. Meski mengangkat dua jenis makhluk yang sama, tapi The Golem and The Jinni menawarkan kisah yang berbeda dan unik. Golem bukan lagi alat yang digunakan sang tokoh (seperti di The Golem’s Eye), tapi dia lah tokoh utamanya sendiri. Pribadinya yang cenderung lurus dan penuh kehati-hatian membuatnya tak terlihat seperti makhluk yang terbuat dari lempung. Baru ketika marah dan berubah beringas, sang golem menunjukkan identitasnya. Ini menarik, karena sifatnya yang demikianlah yang mengantarku menyelami jalan pikiran sang golem.

Dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi untuk mengerti jalan cerita novel ini, diakibatkan alurnya yang lambat. Banyak tokoh yang berperan, yang dijelaskan secara rinci oleh Helene Wecker. Kita diajak menyelami masa lalu, motif, dan sifat tokohnya satu per satu. Awalnya mungkin bingung karena sekilas seperti tak ada keterkaitan antar tokoh-tokohnya. Tapi, menjelang bab-bab akhir, barulah semuanya terkuak. Akhirnya, aku dibuat mengerti untuk apa penjelasan tokoh-tokoh tersebut yang kupikir sebelumnya agak berlebihan. Malah aku dibuat takjub dengan jalinan cerita dan keterkaitan antar tokoh. Ibaratnya mungkin seperti menyusun kepingan puzzle yang acak, yang pada akhirnya berhasil disatukan menjadi gambar utuh.

Hal lain yang menarik dari novel ini adalah beberapa bagian yang menyinggung tentang agama. Membacanya membuatku berpikir dengan sudut pandang lain, yang mungkin diyakini penulisnya sendiri. Misalnya saja seperti sang jin diceritakan sama sekali tidak mengerti konsep ketuhanan yang dianut manusia. Kalau melihat dari sudut pandang sang jin, hal ini patut dimaklumi karena tak ada hal semacam itu di dunianya:

“Tuhan adalah ciptaan manusia. Kaumku tak punya kepercayaan semacam itu. Dan dari pengalamanku sejauh ini, tak ada hantu agung di angkasa yang sanggup menjawab permintaan.” (hlm. 328)

Pandangan tentang ateis pun ada di novel ini yang dianut oleh Michael Levy, keponakan Rabi Avram Mayer. Michael dipengaruhi buku-buku filsuf yang dibacanya, sehingga ia murtad dan meninggalkan agamanya. Menurutnya menjadi orang Yahudi itu tidak humanis. Hukum di agamanya hanya untuk kepentingan golongannya sendiri. Yang diinginkannya lebih luas, yang melibatkan semua golongan:

“Hukum yang berpihak pada semua orang,” kata Michael. “Yang memandang semua manusia sama. Aku bukan anarkis, Paman, jika itu yang mencemaskanmu.” (hlm. 130)

Sebenarnya, nyaris tak ada kalimat cinta atau suasana romantis antara sang golem dan jin. Namun, interaksi, kepedulian, saling ketergantungan mereka terlihat jelas. Sang jin yang diceritakan sebagai makhluk yang mencintai kebebasan, memilih kembali pada sang golem. Hal tersebut sungguh melegakan dan membuatku terharu. Keahlian sang jin membuat patung kecil dari logam juga membuatku membayangkan bentuknya. Pasti indah dan cantik sekali. Aku jadi kepengin punya.

Hampir semua elemen di novel ini membuatku puas. Kalau pun ada yang kurang, mungkin dari segi kovernya saja. Aku suka konsepnya. Hanya saja, kover yang tengahnya bolong membuatku tidak nyaman ketika membaca. Untunglah masalah kover langsung terlupakan begitu menamatkan novel ini. Aku begitu menyukai ceritanya, sampai membuatku enggan membaca buku lain. Rasanya tak cukup menyematkan 5/5 bintang untuk novel ini, karena sensasi yang kudapatkan lebih dari itu.

Harga novel ini memang cukup menguras kantong. Namun, percayalah hasilnya sepadan. Kalau menyukai novel dengan genre fantasi (meski porsi fantasinya tidak dominan), selipan tentang reinkarnasi, dan kisah cinta yang berakhir manis, The Golem and The Jinni bisa dijadikan pilihan bacaan Anda :)

0 comments:

Post a Comment