Jul 28, 2015

Der Leitstern

1


REVIEW DER LEITSTERN

Judul: Der Leitstern (Bintang Utara)
Penulis: Josephine Widya Wijaya
Penerbit: Pustaka Puitika
Cetakan: I, Desember 2014
Tebal: 352 halaman
ISBN: 978-602-1621-30-1

Blurb:

Marie menengadah ke langit. Ia kemudian mengamati setiap sudut-sudut kubahnya.

“Apakah yang engkau cari lagi?” tanya Franz.

“Bintang utara. Tapi sepertinya aku tak akan menemukan bintang tersebut di langit pagi, bukan?”

Franz tersenyum. Ia kemudian berkata, “Sebenarnya yang engkau cari itu adalah polaris. Bintang utara itu adalah bagian ekor dari rasi bintang biduk kecil. Nelayan menggunakan rasi itu sebagai penuntun untuk memperkirakan titik utara langit. Bintang utara itu adalah bintang yang sangat terang, seperti dirimu.”

Marie tak berhasil menyelamatkan Lukas dari gagal jantung. Ia pun harus merelakan kepergian pria yang amat dicintainya itu dengan berat hati. Marie telah berusaha terlalu keras untuk menyembuhkan Lukas. Ia sendiri akhirnya jatuh sakit karena radang paru-paru.

Selama Marie dirawat di sanatorium, hanya Franz yang menjaga dan menemaninya dengan setia. Franz merawat gadis itu hingga sembuh. Dan pada bulan kedua musim dingin itulah, Marie hendak kembali menjadi tenaga bantuan rumah sakit.

Tugasnya dimulai dengan sulit. Sanatorium tersebut harus menangani pasien-pasien radang selaput otak. Pula dalam hari-hari di sanatorium itu, sebuah isu yang mengerikan mulai terdengar. Sanatorium tersebut ternyata dibuat oleh para dokter untuk penelitian obat baru.

Review:

Novel Der Leitstern mengangkat tema cinta yang sederhana, tentang pengorbanan laki-laki untuk wanita yang dicintainya. Yang berbeda dalam novel ini adalah unsur-unsur yang melingkupinya. Profesi para tokoh, seting tempat, maupun waktunya membuat novel ini berbeda dari novel kebanyakan. Membaca novel ini seolah membawa kita ‘bertamasya’ ke masa lalu. Pembaca diajak mengunjungi kota Wina pada era zaman Barok (1600-1750) yang penuh keingintahuan dan perkembangan sejarah pengobatan. (hal 5)

Novel ini sendiri berkisah tentang Frans yang berprofesi sebagai seorang dokter. Ia sangat mengasihi Marie, meski gadis tersebut tak bisa melupakan seseorang di masa lalunya, Lukas. Frans tak pernah meninggalkan Marie. Ia selalu menemani gadis itu. Terlebih ketika Marie dirawat di Rumah Sakit Umum Wina karena radang paru-paru, Frans-lah yang merawatnya. Profesi Frans sebagai dokter memungkinkannya melakukan hal itu.

Sebuah kebijakan dilakukan untuk para pasien paru-paru di Rumah Sakit Umum Wina. Para pasien itu hendak dipindahkan ke sanatorium di bukit terpencil. Marie termasuk salah satu pasien yang dipindahkan. Frans tak bisa membiarkan Marie sendirian. Ia pun mengajukan diri sebagai tenaga bantuan agar bisa merawat Marie.

Rupanya ada misi rahasia di balik pemindahan para pasien ke sanatorium. Misi tersebut berhubungan dengan tanaman beracun bernama Tollkirsche. Dokter Hansen ingin melakukan penelitian untuk menguji khasiat Tollkirsche pada pasien di sanatorium. Namun, ternyata penelitian itu tidak membuahkan hasil. Yang lebih parah, ada beberapa pasien yang meninggal. Hal itu membuat Frans dan Maria menjadi gundah. Mereka tak ingin melihat ada pasien yang meninggal dan dikuburkan diam-diam pada malam hari.

Lalu, bagaimana akhir penelitian itu? Apa yang dilakukan pihak Rumah Sakit Umum Wina saat mengetahui kenyataan di balik sanatorium? Untuk mengetahui jawabannya, tentu harus membaca tuntas novel Der Leitstern. Yang patut diacungi jempol, penulis sukses mengemas konflik dalam novel ini secara apik dan sistematis. Konfliknya tak melulu berada di rumah sakit, namun juga di tempat lain, yang mana tokohnya memiliki keterkaitan berupa benang merah samar satu sama lain. Malah bisa dikatakan tak ada scene mubazir di novel ini. Semua scene tersebut berujung pada ‘sesuatu’ yang bisa disimpulkan sendiri oleh pembaca.

Karena novel ini berlatar kedokteran, penulis juga menawarkan informasi seputar tanaman herbal untuk menyembuhkan penyakit. Ada beberapa tanaman herbal yang mungkin jarang kita dengar. Untuk menyiasati hal itu, penulis menyelipkan catatan kaki guna menjelaskan rupa tanaman tersebut.

Minus novel ini mungkin terletak pada ending-nya yang menggantung. Pembaca dibuat bingung atas sikap Marie yang mendadak berubah dan berpikir untuk berpisah dengan Frans, padahal sebelumnya ia memperlihatkan respon positif dengan menerima cinta Frans. Dugaan sementara kenapa ending novel ini begitu menggantung, mungkin akan ada lanjutan dari novel Der Leitstern. Sayangnya, penulis tak menyebutkannya, sehingga membuat pembaca merasa akhir kisahnya terpatahkan begitu saja. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal dan terkesan tidak tuntas.

Walau demikian, novel ini masih seru untuk dinikmati. Apabila menyukai cerita romansa berlatar zaman dulu, novel ini bisa dijadikan pilihan. Bahasanya yang tak terlalu rumit dan cenderung sederhana, membuat pembaca tak kesulitan memahami makna cerita. Novel ini pun bertabur kalimat-kalimat indah. Berikut quotes tentang cinta yang ada di novel Der Leitstern:

“Cinta itu hanya seperti bunga-bunga ini, Profesor. Awalnya semerbak dan begitu segar. Awalnya memabukkan. Seperti bunga yang dipetik dari batangnya, cinta lambat laun akan menjadi layu. Namun bila benar-benar mencintai seseorang, kasih itu untuk selamanya. Kecantikan dan ketampanan akan sirna, tetapi kasih akan abadi,” ungkap Franz. (hal 24)

“Tidak, tidak begitu. Cinta bukan soal menemukan seseorang yang sempurna yang akan membuat hidupmu bahagia selamanya. Cinta adalah soal menautkan diri satu sama lain dengan hati yang sama sekali asing bagimu,” ujar Marie. (hal 187)

“Tidak, Profesor. Kakakku buta akan orang-orang yang sungguh mencintainya. Ia sibuk mencari cinta-cinta lain, walau tahu tak mungkin mendapatkannya.” (hal 201)

Franz termenung. Dia menaikkan kedua alisnya. “Bila sangat mencintai seseorang, biarkan saja cinta itu ada. Bahkan, bila cinta itu bukan untuk kita,” tukas sang pemuda tiba-tiba. (hal 347)

Dia kemudian menggeleng-geleng. Tuturnya, “Cinta datang dan pergi seenaknya sendiri, seperti penyakit. Dan memang kebahagiaan seorang lelaki begitu murah karena dapat dibeli dengan cinta.” (hal 348)

1 comment: