Aug 7, 2016

Maldives

0

Dimuat di TamanFiksi.com

MALDIVES
Oleh: Eni Lestari

Aku akan melamar Maldives.

Bukan, bukan Maldives yang itu. Aku bukannya ingin menikahi negara kepulauan yang penuh resort eksotis itu. Ini Maldives yang lain. Maldives yang menyukai tuna dan kembang api. Maldives yang tersenyum secerah matahari pagi.

Aku sudah menyiapkan cincinnya. Cincin platina dengan permata mungil berwarna turquoise. Maldives menyukai turquoise. Turquoise membuatnya teringat alasan ibunya memberinya nama Maldives. Ya, ibunya memang menggilai negara tujuan wisata itu. Di sanalah tempat orang tua Maldives bertemu, jatuh cinta, dan memutuskan untuk menikah. Di pantai Maldives yang indah. Pantai yang lautnya berwana turquoise.

Melamar seorang wanita harus berkesan, bukan? Untuk itu, aku mengajak Maldives berlibur. Tujuannya? Tentu saja Maldives.

Aku sudah menyiapkan segala tiket dan tetek bengeknya. Maldives hanya perlu menyiapkan passport dan koper. Betapa mudah, namun terencana. Maldives tidak akan tahu rencana tersembunyiku ingin melamarnya. Bukannya wanita suka sekali kejutan?

“Juna, aku tidak sabar sampai di Maldives. Haha, lucu sekali tiap aku memikirkan ini. Padahal ini bukan perjalanan pertamaku. Maldives akan ke Maldives. Maldives kuadrat.” Maldives tertawa riang. Telapak tangannya menyentuh jendela pesawat. Tampak pemandangan gumpalan awan di luar sana.

Aku tersenyum. Ini belum seberapa, Mal. Beberapa jam lagi, aku akan melamarmu di bawah laut. Di antara ikan-ikan dan terumbu karang. Kalau kau tahu, apa kau juga tidak sabar menantinya?

***

Enam Bulan yang Lalu…

“Maldives.”

Aku mengernyitkan dahi mendengar namanya. Seketika riuh orang-orang di bandara Changi teralihkan karena kehadiran wanita ini di sampingku.

Aku sedang menunggu penerbangan menuju Male. Bertemu wanita cantik bernama Maldives menuju ibu kota Maldives. Bukannya itu kejadian aneh, sekaligus menarik?

Sejak naik pesawat dari Soekarno Hatta dan transit di Changi, aku memang tertarik pada wanita itu. Ia mungil. Tingginya mungkin tidak sampai 160 cm. Dengan perawakannya itu, pasti banyak yang tidak mengira ia seorang konsultan IT terkemuka di Jakarta. Aku malah berpikir ia masih sekolah—atau sekurang-kurangnya masih kuliah.

“Maldives…” Aku menggumamkan namanya. “Kau lahir di sana?” tanyaku penasaran.

Maldives diam saja. Ia tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia malah membersit hidungnya. Singapore sedang diguyur hujan deras. Sepertinya Maldives terkena flu. Mungkin itu juga alasan wajahnya tampak pucat. Ia juga duduk sambil mengeratkan jaketnya.

“Mau obat flu? Aku bisa membelikannya untukmu,” tawarku ramah.

Maldives menatapku tajam. “Apa kau tidak pernah diberi nasihat untuk tidak menerima sesuatu dari orang asing?” Ia berdiri. Tanpa menghiraukanku, ia menarik koper, lalu berjalan menuju toilet.

***

Aku melihatnya lagi waktu menunggu pesawat menuju pulau tempat hotel yang akan kudiami selama berada di Maldives. Saat itu aku berada di café dekat terminal keberangkatan dosmetik. Ia duduk di meja paling ujung. Wajahnya tak sepucat waktu kami bertemu di Changi. Rambutnya tergerai sempurna, melewati tengkuk. Segera saja aku mendekatinya dan duduk di hadapannya.

“Hai,” sapaku ramah.

Alis Maldives mengernyit begitu melihatku. “Kau suka menguntit orang? Atau itu kebiasaan burukmu?” serunya ketus. Dari kerutan di dahinya, sepertinya ia tidak suka aku duduk tanpa permisi di mejanya.

Aku tersenyum. “Maafkan aku. Apa aku mengganggumu?”

“Aku cuma ingin sendirian.”

“Kau sedang patah hati?” tebakku.

Wajah Maldives berubah. Ada raut terluka di sana. Tangan kirinya yang tertumpu di meja juga terkepal, seperti menahan marah. Saat kulihat lebih saksama, air mata juga tergenang di pelupuk matanya. Tapi, seolah anti menangis di depan orang tak dikenal, Maldives mengerjapkan matanya berulang kali. Ia menarik napas pendek, lalu menatapku.

“Aku memang patah hati. Tapi, sepertinya itu bukan urusanmu.”

“Sepertinya itu juga urusanku, karena itu berarti aku punya teman senasib. Aku juga sedang patah hati,” sahutku, lalu tersenyum getir. “Bagaimana mengatakannya, ya? Tiba-tiba saja tunanganku mengaku kalau dia sedang hamil, dan ingin menikah dengan pria yang menghamilinya. Bukan hanya itu saja. Seenaknya saja dia memintaku berlibur ke Maldives. Tepat di hari pernikahannya pula. Dia bilang itu bentuk penyesalannya, juga agar aku tidak larut dalam kesedihan.”

“Bukannya itu pelampiasan patah hati yang menyenangkan?”

“Begitu menurutmu? Aku tahu pelampiasan patah hati yang tidak menyenangkan. Seperti yang dilakukan Tiara…” Pandanganku menerawang saat mengatakannya.

“Tiara?” Maldives menatapku heran.

Aku menggeleng pelan, mengusir masa lalu yang mendadak hinggap di pikiranku.

Maldives masih memandangku. Aku tersenyum kecil. Kutatap Maldives sambil menopang dagu dengan sebelah tangan. “Menurutmu, apa aku laki-laki gampangan? Harusnya aku marah pada mantan tunanganku itu, kan? Tapi nyatanya tidak. Aku malah mengikuti kemauannya.”

Maldives mendengus. Ia mamandangku dengan tatapan mengejek. “Yang kulihat, perasaanmu tidak mendalam padanya. Kau tidak peduli padanya.”

Aku tertawa. “Kau benar. Saat kita memilih tidak peduli, sebenarnya kita tidak betul-betul cinta pada seseorang. Ehm… apa kau juga demikian? Atau kau malah sangat peduli dengan mantan kekasihmu?”

“Apa suatu keharusan aku menjawab pertanyaanmu itu?”

“Bukannya bagus kalau kita membuat aliansi orang patah hati yang sama-sama memilih Maldives sebagai tempat berlibur? Walau kau berpikir aku tidak peduli pada mantan tunanganku itu, tapi tetap saja aku patah hati. Dia lebih memilihnya daripada memilihku. Harga diriku terluka.”

Detik itu juga, Maldives tertawa. Tawanya renyah terdengar di telinga.

Saat kami duduk di dermaga yang terletak di seberang café, Maldives menceritakan alasannya ke sini. Ia sengaja memilih tempat ini untuk melepas penat dan menyegarkan pikiran. Berbeda dari dugaanku semula, rupanya ia yang mencampakkan kekasihnya. Ia tahu kekasihnya selingkuh dengan wanita lain. Mereka pun akhirnya berpisah.

Namun, bukan itu saja yang membuat Maldives sakit hati. Tak lama setelah mereka putus, Maldives mendapat kabar kalau mantan kekasihnya itu tinggal bersama dengan wanita selingkuhannya di Paris.

Saat menceritakannya, suara Maldives bergetar. Ia mengatai mantan kekasihnya itu bajingan. Walau demikian, aku tahu Maldives menyesal berpisah dengannya. Ia terlihat sangat menyayanginya.

“Kalau saja hati manusia dapat dilihat sejelas laut di sini, mungkin dari awal aku tak perlu merasa tertipu. Apalagi oleh orang yang paling kusayangi.” Mata Maldives tertuju pada air laut di bawah dermaga yang tampak jernih. Kami bahkan bisa melihat sampai dasar laut. Pemandangan yang sangat indah, meski panas matahari menyengat dari atas sana.

“Kalau hati manusia terlihat sejelas bawah laut di Maldives, mungkin tak ada perbincangan di antara kita…”

“Kenapa begitu?” Alis Maldives bertaut.

Aku tidak menjawab. Kubiarkan saja keheningan mengambang di udara. Sementara mataku terus terpaku pada keindahan bawah laut Maldives yang seperti akuarium raksasa di bawah kakiku.

***

Peralatan snorkeling yang dibawa Maldives terjatuh. Aku memungutnya. Pasir pantai yang putih, halus, dan bertekstur seperti bedak terasa lembut di tanganku.

Begitu sampai di pulau tempat kami menginap, aku dan Maldives memang berencana melakukan snorkeling. Ini sesuai juga dengan rencanaku semula untuk melamar Maldives di bawah laut.

“Ada apa, Mal?” tanyaku pelan. Dua orang lewat di depan kami. Sepertinya mereka pasangan suami istri yang sedang berbulan madu. Mereka saling memeluk, lalu berciuman. Aku meringis. Bukan hal aneh melihat pasangan melakukan public display of affection di sini.

“Mal?” Aku mengulangi panggilanku.

Maldives tak menjawab. Matanya terarah pada tepi pantai—tepatnya pada seseorang berkulit kecokelatan dan memakai celana renang di sana.

Laki-laki itu tertawa lebar. Kakinya tersapu ombak. Seperti menyadari Maldives tengah memerhatikannya diam-diam dari kejauhan, laki-laki itu menoleh. Ia dan Maldives bersitatap dalam diam. Mereka seperti saling mengenali. Saling mengetahui satu sama lain.

Tanpa menghiraukanku, Maldives berjalan mendekati orang itu. Jantungku berdegup cepat. Segera saja aku mengejar Maldives.

Langkahku terhenti begitu Maldives berada di hadapan laki-laki itu. Tiba-tiba saja, Maldives memeluknya erat. Jantungku mencelus. Seketika aku teringat ucapan Maldives enam bulan lalu, awal ketika kami bertemu.

Saat itu kami berdiri di bibir pantai. Kami mengagumi pesona laut Maldives yang berwarna turquoise.

“Kau tahu, aku merasa takdir yang mempertemukanku dengannya. Orang tua kami sama-sama menggilai tempat ini. Sebutan untuk Maldives Islands juga Maladewa. Mala berarti untaian dan dvipa berarti pulau. Indah sekali, ya? Arti namanya begitu menawan, begitu indah. Nama kami berdampingan seolah kembar. Maladewa. Maldives. Pasti bukan tanpa tujuan Tuhan mempertemukan kami.” Mata Maldives berbinar. Sejurus kemudian, ia mendesah. “Walau kubilang dia bajingan, tapi aku sadar aku cuma wanita melankolis yang menyukai kebetulan-kebetulan ajaib semacam itu. Kalau aku bertemu lagi dengannya, aku tidak akan berbohong atau bersikap sok gengsi kalau aku ingin bersamanya. Demi Tuhan, aku mencintainya! Kalau dia berniat menduakanku sekali lagi, aku juga tidak peduli! Cinta memang tidak kenal logika. Bukan begitu, Juna?”

Laki-laki itu—Maladewa—balik memeluk Maldives. Tanpa kusadari, cincin platina dengan permata berwarna turquoise yang kubawa terlepas dari genggamanku.

Gigiku bergemeretak. Saat itulah, Maladewa melihatku.

Alisku berkedut. Aku tak akan lupa wajah itu. Wajah orang yang membuat adikku Tiara bunuh diri tiga tahun lalu. Wajah orang yang kulihat menginap di hotel tempatku bekerja dengan wanita berbeda-beda tiap minggu. Alasan yang tak pernah digubris Tiara. Alasan yang membuat adikku mengiris nadinya sendiri karena frustasi saat Maladewa mencampakkannya.

Langkahku berderap mendekatinya. Emosi menguasaiku. Aku sudah menunggu saat-saat seperti ini sejak lama. Sejak kematian Tiara.

Seketika aku menerjang Maladewa. Aku memukulnya berkali-kali, hingga ia jatuh tersungkur. Wajahnya babak belur.

Maldives menjerit. Aku tak peduli. Aku ingin laki-laki ini mati di tanganku.

“Juna, berhenti! Kubilang berhenti!” teriak Maldives.

Aku tidak mungkin berhenti, Mal. Tidak mungkin.

Kau tidak tahu, bukan? Aku juga percaya kebetulan-kebetulan ajaib seperti takdir antara dua manusia. Aku percaya saat sekilas melihatmu dan Maladewa di restoran dan kau menangis setelah Maladewa pergi. Lalu, pertemuan kita di bandara menuju Maldives enam bulan lalu. Bahkan namamu. Aku percaya dengan bersamamu atau menikahimu, aku akan bertemu dengan penyebab adikku mati.

Aku percaya semuanya. Seolah kau adalah magnet tak terlihat untuk Maladewa. Magnet yang akan membawa Maladewa kembali padamu.

Hatiku tak sejernih laut Maldives yang terlihat sampai ke dasarnya, hingga kau bisa melihat terumbu karang serta aneka ikan yang berseliweran. Kalau kau mampu melihatnya, Mal, hatiku hanya berisi dendam. Dendam untuk mantan kekasihmu yang sangat brengsek itu—Maladewa.

***

0 comments:

Post a Comment