Aug 7, 2016

Keberanian Letta

1

Ilustrasinya so perfecto!!

Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Gadis Edisi 15 (24 Juli - 16 Agustus 2016). Ini cerpen kedua yang dimuat di Gadis. Cerpen pertama bisa dibaca di sini *promosi tiada henti* :p Yah, menurutku ceritanya masih jauh dari sempurna. Aku bisa lihat kekurangan di sana-sini yang bikin aku ngerasa bego-banget-sih-lu-harusnya-diedit-lagi-bego :') Tapi, tak apa. Mari kita belajar bikin cerpen yang baik dan benar (?). Yeeyy! xDD Anyway, happy reading! Kalau mau kasih kritik dan saran sih boleh banget. Oya, ini versi belum diedit. Kayaknya kalau versi majalah ada bagian yang dipotong karena kepanjangan :')

Keberanian Letta
Oleh: Eni Lestari

Ketika lembar soal ulangan Fisika itu dibagikan, Letta berharap bisa berpura-pura kesusahan, seperti yang dilakukan oleh hampir seluruh teman sekelasnya.

Letta melirik Marla, gadis yang duduk satu bangku di sampingnya. Marla melolong tanpa suara, lalu membenturkan kepalanya pelan ke meja. Itu pertanda kalau gadis itu sudah menyerah, bahkan sebelum sempat mengerjakan soal.

Satya lain lagi. Cowok yang duduk di depan Marla itu mendesah panjang seraya menatap plafon kelas. Ia lalu mulai menghitung kancing, merasa depresi menentukan jawaban yang hendak dipilihnya.

Melihat tingkah laku teman-temannya, tak urung membuat Letta tersenyum. Pelajaran eksak memang menjadi momok bagi teman-temannya. Sayangnya, itu tidak berlaku baginya.

Letta menunduk, membaca lembaran soal di tangannya. Ada tiga puluh soal yang diberikan, sementara waktu pengerjaannya cuma dua jam pelajaran. Itu adalah dua jam yang terasa seperti sekejap bagi orang lain. Namun, bagi Letta, itu waktu yang sangat panjang, sepanjang rel kereta api yang tak berkesudahan.

“Kalau sampai ada yang ketahuan mencontek, Ibu akan beri tugas yang lebih berat dari ini. Kalian mengerti?” ultimatum Bu Arman, guru Fisika mereka yang terkenal galak.

Terdengar helaan napas panjang di sana-sini. Letta ikut mendesah. Bukan karena merasa kesulitan, tapi ia bingung apa yang harus ia lakukan untuk mengulur waktu. Baginya, mengerjakan soal Fisika tak butuh waktu lama. Ia hafal rumusnya. Ia hafal cara mengerjakannya. Rasanya itu mudah saja, seolah otaknya sudah diprogram sebelumnya.

“Buat yang sudah selesai mengerjakan, periksa kembali jawaban kalian. Jangan terburu-buru. Waktu masih panjang.” Bu Arman mengingatkan.

Letta mendongak, menatap jam dinding. Masih kurang setengah jam lagi. Letta sudah hampir selesai mengerjakan semua soal. Namun, sesuatu menghentikannya, membuat jarinya berhenti menulis. Ia ingat kejadian seminggu lalu. Nilainya nyaris sempurna waktu ulangan Matematika dibagikan—hanya salah satu soal saja. Letta menghela napas. Ia tak boleh mengulanginya lagi. Ia tak ingin menarik perhatian lebih dari ini.

Letta pun memutuskan. Ia sengaja memilih jawaban-jawaban salah. Ia pura-pura meniru Satya yang setia menghitung kancing. Ia juga meniru Marla yang kini makin frustasi membenturkan kepalanya ke meja. Letta tersenyum kecil. Rasanya menyenangkan menjadi orang biasa. Letta menyukai sensasinya. Ia juga tak perlu dipandang aneh seperti yang dialaminya dulu, ketika ia mengerahkan segenap kemampuannya.

***

Angka enam puluh itu terukir manis di lembar jawaban ulangan Fisika Bu Arman. Letta mendesah lega. Meski angka itu termasuk tinggi dibanding nilai teman-temannya yang lain, tapi masih tergolong tidak mencolok. Letta tahu, kalau ia tak mengubah jawabannya, ia bisa mendapat nilai sempurna seperti sebelumnya.

“Aku yakin sebenarnya kamu bisa mendapat nilai lebih tinggi.”

Sebuah suara menyentak lamunan Letta. Letta menoleh. Ia melihat Panji—cowok  bertubuh tinggi dengan rambut cepak yang duduk di belakang bangkunya. Ada nada permusuhan dalam nada suara cowok itu. Alis Letta merengut bingung. Ia tidak mengerti kenapa Panji bersikap antipati padanya.

“Apa maksudmu?” tanya Letta heran.

“Kamu tahu benar apa maksudku.” Panji mencibir. Kepalanya mengedik ke arah nilai ulangan Letta. “Padahal mudah saja bagimu mendapat nilai bagus, tapi kamu tidak melakukannya. Kamu pasti diam-diam menganggap remeh orang lain, kan?”

Alis Letta makin merengut. “Aku sungguh tidak mengerti apa maksudmu.”

Panji mendengus. “Apa sudah jadi sifatmu berpura-pura seperti itu, Letta? Aku tahu kemampuanmu. Kamu bisa melebihi orang lain, bahkan siswa paling pintar di sekolah ini. Sayangnya, kamu tidak mau. Entah apa alasanmu.”

Letta membeliak mendengar penuturan Panji. Dari mana dia tahu kalau… Jemari  Letta berkeringat dingin. Ia tak bisa menduga dari mana Panji tahu soal kemampuan akademisnya yang di atas rata-rata.

“Yang jelas, yang kamu lakukan itu memuakkan sekali. Kamu tidak mensyukuri apa yang kamu miliki. Padahal banyak orang berusaha keras untuk menjadi sepertimu. Ya, untuk memiliki secuil kepintaranmu itu.”

Letta menelan ludah. Ia mati kutu mendengar ucapan Panji yang terasa menusuk itu. Letta menggigit bibir dengan perasaan gelisah. Alih-alih membela diri karena dikatai macam-macam, Letta menanggapinya dengan tawanya yang terdengar sumbang.

“Aku beneran tidak tahu maksudmu. Maaf, aku mau pulang.” Letta berdiri seraya meraih tas ranselnya. Kakinya melangkah cepat keluar kelas, menyusuri koridor yang mulai lengang. Letta berusaha tidak menoleh ke belakang. Ia tahu ketika menoleh, ia akan menemukan tatapan Panji yang terasa menusuk punggungnya—membebaninya dengan serbuan perasaan bersalah yang entah berasal dari mana.

***

“Mama yakin kamu pasti menang. Kamu tidak akan mengecewakan Mama, kan?”

Letta ingat, Mama mengucapkan kalimat itu ketika mengantarnya mengikuti lomba cerdas cermat tingkat provinsi. Letta tidak mau membuat Mama kecewa. Karena itulah, meski tidak suka, ia tetap menuruti keinginan Mama.

Sejak SD, Letta memang kerap dipaksa Mama mengikuti aneka lomba. Entah kenapa, Mama selalu ingin menunjukkan kepada orang-orang betapa pintar atau betapa jenius dirinya. Terbukti dari aneka piala dan piagam hasil menang lomba yang dipajang Mama di ruang tamu. Juga dari nilai rapor Letta yang nyaris sempurna tiap semester.

“Mama bangga padamu, Letta. Kamu pasti jadi orang hebat nantinya,” ujar Mama dengan mata berbinar. “Dengan kepintaranmu itu, kamu bisa jadi dokter. Ya, kamu cocok jadi dokter. Kamu mau, kan, jadi dokter?”

Itu bukan tawaran bagi Letta, tapi lebih pada keinginan sepihak Mama. Sejak dulu, Mama memang terobsesi menjadi dokter. Sayang, kemampuan Mama terbatas. Ia harus puas hanya menjadi pegawai kantoran. Karena itulah, melihat potensi yang ada pada diri Letta, Mama pun memaksakan obsesinya yang terpendam pada Letta.

Awalnya, Letta tidak begitu mempermasalahkan keinginan Mama. Apalagi ia memang suka belajar. Sampai suatu hari, dengan nada tidak suka, Mama mulai mengomentari Kimmy—teman dekat Letta yang kerap datang ke rumah.

“Mama tidak suka temanmu itu. Di tempat les, dia masuk kelas F, kan?”

“Memang kenapa kalau kelas F, Ma?” tanya Letta bingung. Di tempat les Letta, ada klasifikasi bagi para siswa. Karena Letta tergolong siswa berotak encer, ia masuk kelas A. Sementara kelas F diperuntukkan bagi siswa dengan nilai di bawah rata-rata.

“Seharusnya kamu bergaul dengan orang yang setara denganmu. Jangan bergaul dengan orang bodoh. Nanti kamu ketularan mereka,” ujar Mama ketus. “Sama seperti Papamu. Karena bergaul dengan orang bodoh, Papamu sampai kena tipu ratusan juta.”

Letta tidak suka Mama mengatai Papa seperti itu. Meski tak lagi tinggal bersama semenjak orangtuanya bercerai, Letta sangat menghormati Papa. Perusahaan Papa memang bangkrut, tapi ia masih berusaha menghidupi keluarganya.

“Kamu itu pintar, Letta. Bersikaplah sesuai kapasitasmu. Pilih orang yang setara denganmu. Karena itu, jangan bergaul dengan Kimmy lagi. Kamu mengerti?”

“Tapi, Kimmy baik, Ma. Di sekolah, cuma dia yang mau ngobrol denganku.” Letta tertunduk. Ia tak pernah mengutarakan permasalahannya pada Mama. Di sekolah, karena jadi anak kesayangan guru, banyak yang tidak menyukainya. Mereka menganggap Letta penjilat dan sok pintar. Letta juga dikatai Einstein kesasar, freak, nerd, dan sederet sebutan lainnya.  Meski jadi objek bully teman sekolahnya, Letta mencoba bertahan. Itu semua karena ada Kimmy yang setia menemaninya.

“Mama tidak peduli. Pokoknya, jauhi Kimmy. Titik.”

Letta terdiam. Ia tidak bisa membantah Mama. Namun, dalam hati ia berjanji tak akan menuruti keinginan Mama. Ia merasa Kimmy baik padanya. Tidak ada alasan untuk menjauhinya.

Namun, rupanya Mama tahu kalau Letta masih berteman dengan Kimmy. Mama tidak tinggal diam. Ia mendatangi Kimmy dan memintanya untuk tidak berteman dengan Letta. Mama mengatai Kimmy tidak pantas berteman dengan gadis jenius seperti Letta.

Kimmy merasa tersinggung dengan perlakuan Mama Letta. Ia pun mulai menjauhi Letta, baik di sekolah dan tempat les. Hal itu membuat Letta merasa sendiri dan kesepian. Belajar dan sekolah menjadi hal yang tak menarik lagi baginya. Ia merasa tertekan dengan keinginan dan obsesi Mama padanya.

“Letta, kamu sudah makan malam?”

Suara itu menyentak Letta yang sedari tadi melamun di pinggir jendela. Letta menggeleng pelan, menjawab pertanyaan Papa yang baru pulang bekerja. Ya, sejak awal tahun, Letta memutuskan tinggal dengan Papa dan pindah sekolah. Ia tak tahan tinggal bersama Mama yang terlalu mengekangnya. Ia juga tak betah dengan suasana sekolah lamanya.

“Yuk, makan. Papa baru beli mie ayam, lho,” ajak Papa sambil mengangkat kantong plastik berisi dua bungkus mie ayam. “Kamu suka mie ayam, kan?”

“Suka banget, Pa!” seru Letta senang.

“Ada kejadian seru apa di sekolah?”

 Mendadak Letta terngiang ucapan Panji saat pulang sekolah tadi. Letta termenung sejenak. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi gadis biasa. Ia tidak mau dijauhi atau dipanggil Einstein kesasar lagi karena terlalu menonjolkan kepintarannya. Ia tak mau mengalami apa yang dirasakannya dulu di sekolahnya yang lama. Meski itu artinya ia harus berpura-pura menjadi orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri.

Hanya saja, Letta bingung bagaimana Panji tahu jati dirinya. Ia baru beberapa minggu pindah ke sekolah barunya. Dan Letta yakin, ia tidak pernah mengenal Panji sebelumnya.

“Tidak ada yang seru, Pa,” jawab Letta kemudian, separuh berbohong. Ia menyantap mie ayamnya dengan lahap, mencoba melupakan kata-kata Panji padanya.

***

Letta merasa tidak nyaman harus duduk berhadapan dengan Panji di meja perpustakaan. Ada tugas Bahasa Inggris yang harus mereka kerjakan. Letta sedang sial karena mendapat partner Panji, cowok yang ingin dihindarinya sejak kemarin.

Kebisuan menyelimuti Letta dan Panji. Sejak tadi, Panji asyik membuka kamus, mencari arti kalimat pada artikel yang harus mereka terjemahkan.

“Jangan-jangan, sebenarnya kamu tidak perlu kamus?” ucap Panji tiba-tiba, mengagetkan Letta. Cowok itu menunjuk lima lembar artikel yang berserakan di meja. “Kamu bisa mengerjakannya sendiri, kan, tanpa perlu bantuanku?”

“Kenapa kamu bicara begitu?” Letta sedikit tersinggung. Entah kenapa, ia merasa Panji tengah mencemoohnya.

“Oh, ayolah, Letta. Jangan berpura-pura lagi.” Panji melempar kamusnya ke tengah meja. “Jujur saja, melihatmu seperti ini membuatku merasa kesal. Kupikir akan ada diskusi yang menarik, mengingat kemampuanmu yang brilian itu. Tapi, lihat, yang kamu lakukan cuma diam dan berlaku pasif. Itu sama sekali bukan dirimu.”

Letta menggigit bibir. Kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya. Sungguh, Letta tidak suka sikap Panji. Rasanya cowok itu seperti menuduhnya melakukan sesuatu yang salah dan tak pantas—hanya karena ia melambatkan dirinya dalam menerjemahkan artikel.

“Jangan sok tahu!” sembur Letta sambil berdiri. Matanya berkaca-kaca. “Kamu tidak tahu apa-apa tentangku. Jangan bicara sembarangan, seakan-akan kamu tahu tentangku!!”

Panji terperanjat melihat reaksi Letta. Letta menghapus air matanya. Dengan terburu-buru, ia membereskan bukunya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Letta menyambar ranselnya dan keluar dari perpustakaan. Ia melewati gerbang, menembus hujan deras yang mengguyur siang ini. Masa bodoh dengan tugas Bahasa Inggris. Saat ini, ia ingin pergi sejauh mungkin dari Panji. Ia tidak mau bertemu dan berurusan dengan cowok itu lagi.

***

Tubuh Letta menggigil kedinginan, meski ia bersembunyi di balik selimutnya yang tebal dan hangat. Ini salahnya juga. Gara-gara nekat menembus hujan dua hari lalu, Letta mesti terbaring di kamarnya karena demam.

“Letta, ada yang mencari kamu, nih. Papa suruh masuk, ya…” Kepala Papa menyembul dari balik pintu. Tak lama, sosok Panji masuk. Tangannya menenteng kantong plastik berisi jeruk dan apel.

Alis Letta merengut begitu melihat Panji. Amarah kembali menerpanya, teringat kejadian di perpustakaan.

“Halo, Letta. Kamu sudah baikan?” ucap Panji sambil tersenyum kikuk. Ia meletakkan kantong plastik yang dibawanya di atas meja.

Letta diam saja. Ia cuma menatap Panji dengan ekspresi tak suka. Melihat hal itu, Panji mengembuskan napas berat.

“Kamu pasti marah sama aku. Bisa dibilang aku ikut andil bikin kamu sakit.”

Letta cuma mendengus. Ia memalingkan mukanya, tak menanggapi ucapan Panji.

“Aku minta maaf. Kamu mau maafin aku, kan?” pinta Panji dengan raut menyesal. “Aku tahu kamu pasti kesal karena ucapanku kemarin. Aku seenaknya menuduhmu tanpa tahu apa yang terjadi.”

“Kata-katamu itu keterlaluan!” seru Letta tiba-tiba. Air matanya kembali merebak. “Apa aku salah tidak menunjukkan kemampuanku? Kamu tidak tahu apa yang pernah kualami. Kamu malah seenaknya mengataiku macam-macam.”

“Karena itu, aku minta maaf. Aku baru tahu apa yang menimpamu. Papamu yang menceritakannya waktu aku datang tadi.”

Jawaban Panji itu membuat Letta tersentak. “Papa yang cerita?”

Panji mengangguk. “Kamu pernah di-bully di sekolahmu yang lama. Kamu juga jadi objek obsesi Mamamu supaya bisa jadi dokter. Benar, kan?”

Letta menunduk, merasa malu karena rahasianya ketahuan oleh Panji.

“Pasti berat bagimu mengalami itu semua. Apalagi satu-satunya teman yang kamu miliki juga menjauhimu.” Panji menunjukkan wajah prihatin. “Aku benar-benar minta maaf, Letta. Hanya saja kamu perlu tahu alasanku. Mungkin kamu lupa padaku. Tapi, dulu sekali kita pernah bertemu. Aku mengagumi kemampuanmu. Di mataku kamu gadis cerdas dan penuh percaya diri. Tapi, Letta yang kukagumi itu sudah hilang. Yang kutemui malah Letta yang menyembunyikan kemampuannya. Itu membuatku kesal. Padahal tanpa sepengetahuanmu, aku juga berjuang supaya bisa sepertimu.”

Letta memandang Panji dengan tatapan bingung. “Aku yakin kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Kenapa kamu bicara seolah kamu mengenalku?”

Panji tersenyum. “Ah, tentu saja kamu lupa. Itu kejadian 5 tahun lalu waktu kita masih SD. Yah, dulu aku memang tidak setinggi ini. Tubuhku kecil. Aku juga pakai kacamata.”

Letta mengais ingatannya. Sekeras apapun mencoba, ia tak ingat juga. Akhirnya, ia cuma bisa menggeleng. “Aku benar-benar tidak ingat…”

“Cerdas cermat tingkat provinsi. Masih tidak ingat? Kita berkenalan di aula. Kamu bilang akan direkomendasikan untuk ikut Olimpiade Matematika. Setelah itu, kita berdiskusi panjang lebar mengenai soal logika yang tak kumengerti.”

Mulut Letta ternganga. Kini, ia ingat Panji kecil yang ditemuinya lima tahun lalu. Letta sungguh tak menyangka cowok kurus dan mungil yang ditemuinya dulu adalah Panji. Ia benar-benar sudah lupa namanya. Apalagi Panji tidak masuk babak final seperti dirinya. Ia tersingkir di babak sepuluh besar.

“Gara-gara tidak menang lomba cerdas cermat, aku bertekat untuk belajar lebih giat. Aku termotivasimu olehmu. Kamu pintar. Kamu suka belajar. Meski tidak jenius sepertimu, kamu bilang siapa saja juga bisa jadi pintar asal mau berusaha. Kata-katamu itulah yang membuatku bersemangat. Aku ingin suatu saat bisa mengalahkanmu.” Panji tersenyum cerah. Tapi kemudian wajahnya berubah keruh. “Karena itu, bayangkan perasaanku waktu melihatmu tak menunjukkan kemampuanmu. Kamu sengaja mengurangi nilaimu supaya tidak dianggap pintar. Jujur saja, itu membuatku kecewa.”

Letta sedikit merasa bersalah mendengarnya. Kini, ia paham kenapa Panji begitu antipati padanya. Rupanya ia telah mengecewakan cowok itu.

“Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau…”

Panji mengibaskan tangannya. “Sudahlah. Aku yang salah karena seenaknya menganggapmu sainganku. Yang ingin kuketahui sekarang, apa kamu mau terus seperti ini? Kamu masih takut di-bully dan kehilangan teman?”

Letta tertunduk. “Jujur, yang kualami itu membuatku trauma…”

Panji menepuk bahu Letta. “Aku akan membantumu. Kamu pindah sekolah untuk mendapat suasana baru, kan? Kamu bisa melakukannya tanpa perlu menjadi orang lain. Kamu cukup jadi Letta Arumanita, gadis berotak encer yang kukenal. Kamu hanya butuh keberanian untuk melakukannya. Bagaimana?”

Letta melihat kesungguhan di sorot mata Panji. Ia pun mengangguk. “Baiklah,” ujarnya kemudian sambil tersenyum, menyetujui usul Panji.

“Baguslah!” Panji tampak gembira. “Aku tidak sabar mengalahkanmu. Beberapa bulan lagi ujian semester. Kita tunggu siapa yang jadi juara kelas nanti.”

Letta tertawa kecil. “Sebelum itu, lebih baik kamu belajar buat ulangan Kimia minggu depan. Aku sih yakin bisa dapat nilai seratus. Tapi, sepertinya kamu butuh usaha ekstra keras supaya bisa mengalahkanku.”

Panji langsung cemberut. “Siaaal!! Orang pintar memang menyebalkan!!” erangnya dongkol. “Tunggu saja, aku yakin bisa dapat nilai seratus juga!”

Letta terkekeh mendengar nada optimis Panji. Ia tersenyum cerah. Perasaan lega menyelimutinya, mengetahui ada seseorang yang mau melihatnya sebagaimana dirinya.

***

1 comment:

  1. Keren cerita remajanya, Mbak Eni.
    keren sudah bisa nembus Gadis.
    Saya pun masih terus belajar dan berjuang menembus majalah Gadis hehehe.

    ReplyDelete