Dec 13, 2016

Amara

1

Dimuat di TamanFiksi.com

AMARA
Oleh: Eni Lestari

“Kapan kau bercerai dengan istrimu?”

Harusnya Amara mengatakan itu di pertemuan mereka yang ketiga. Amara sudah berlatih mengatakannya di depan cermin berkali-kali, seperti anak SD yang hendak pidato pertama kali di depan kelas. Ia bahkan melatih mimik wajah agar terlihat sedih, tegar, sekaligus berharap. Ia takut terlalu memaksa. Laki-laki tidak suka dipaksa.

Amara tahu sekali bagaimana watak Daniel. Ia sudah mengenalnya semenjak remaja, meski mereka sempat berpisah dan dipertemukan kembali lima tahun kemudian. Tak ada yang berubah dalam diri Daniel. Sejak dulu, cuma Daniel yang diinginkannya. Tiap melihat Daniel, perasaan itu membuncah seperti air terjun. Begitu besar, dalam, dan kasar. Ah, Amara tidak bisa mendeskripsikannya.

Tapi, alih-alih mengatakan itu, Amara hanya memandang Daniel saat mereka bertemu di sebuah hotel di pinggiran kota Jakarta. Daniel sengaja memilih tempat itu agar tidak ketahuan istrinya Selma.

Amara merasa dinomorduakan. Tapi ia tidak bisa berharap lebih. Daniel mau meluangkan waktu untuk bertemu saja sudah bagus. Hampir tiga bulan ini mereka putus komunikasi, karena Selma mencium gelagat mencurigakan dari Daniel. Untung Daniel sanggup berkelit dan bisa merahasiakan hubungannya dari Selma.

“Aku tidak bisa lama.” Daniel berjalan tergesa. Ia melirik ujung lorong. Seorang bell boy melintas sambil mendorong troli. Terdengar decit roda troli yang bergesekan dengan lantai. Daniel gelisah. Begitu sampai di kamar hotel, ia buru-buru masuk, meninggalkan Amara yang terdiam di depan pintu.

Daniel menoleh ke belakang. Alisnya bertaut melihat Amara. Daniel segera menarik tangan Amara, lalu cepat menutup pintu.

“Ada apa?” tanya Daniel lembut. Ia mendudukkan Amara di tepi tempat tidur.

Amara masih membisu. Sesuatu dalam dirinya menyuarakan protes keras agar ia cepat-cepat mengatakannya. Ini demi kelangsungan hidupnya kelak. Juga untuk masa depannya. Amara tidak bisa seperti ini selamanya. Menjadi sosok di belakang layar kehidupan rumah tangga orang lain bukan impiannya. Tidak ada wanita manapun yang menginginkannya.

Amara merasa berhak mendapatkan status yang lebih layak. Ia juga ingin seperti Selma yang menggandeng lengan Daniel dengan bangga di hadapan orang-orang. Mengenalkannya pada keluarga, relasi, berlibur bersama, banyak hal. Bukan seperti ini, sembunyi-sembunyi seperti ia tengah melakukan kesalahan. Amara terpekur. Ini memang suatu kesalahan. Sepertinya, sejak awal ini semua adalah kesalahan.

“Amara?”

Amara mendongak. Daniel menatapnya khawatir. Sorot matanya berpendar takut, seperti buronan yang dikejar segerombolan prajurit kavaleri. Tak ada perasaan bahagia di sana. Berbeda saat mereka pertama bertemu dulu saat ia berumur lima belas tahun. Tahun-tahun merenggut segalanya. Merenggut sosok Daniel dalam kehidupannya.

“Apa yang kau pikirkan?” Daniel bertanya lagi, kali ini lebih pelan. Ia menarik tangan Amara ke pangkuannya dan meremasnya erat.

Amara masih tidak bersuara. Daniel terus menunggu. Jarum jam berdetak dengan kecepatan konstan. Di dalam kamar hotel, suara AC menderu dingin. Tak ada suara lain di ruangan itu selain keheningan.

“Amara?” Daniel memanggil lagi.

“Aku… bagaimana kalau aku hamil?” Amara tiba-tiba mendongak, menatap kedua bola mata Daniel yang berwarna cokelat tua. Amara bisa melihat mata itu menatapnya lekat, bergerak-gerak seperti tengah mengamati wajahnya.

“Apa kau hamil?” tanya Daniel pelan.

Amara menggeleng. “Aku ingin mengandung anakmu. Aku ingin sesuatu yang mengingatkanku padamu.”

Daniel terdiam. Ia menangkup wajah Amara dengan telapak tangannya. “Maaf, aku tidak bisa. Kau tahu aku tidak mungkin melakukan hal itu.”

Amara tertawa dalam hati. Seharusnya ia tahu Daniel tidak mungkin menyanggupi keinginan bodohnya. Padahal ia sudah merencanakan ini matang-matang. Ia berniat menjadi wanita jahat yang meminta pertanggungjawaban Daniel atas bayi yang dikandungnya. Lalu, menuntut laki-laki itu agar selekasnya bercerai dari istrinya.

Lebih jauh lagi, Amara bisa mengaku pada Selma kalau selama ini ia telah berselingkuh dengan Daniel. Ia adalah wanita yang dicintai Daniel diam-diam. Seseorang dengan janji di masa lalu yang tak mungkin ditinggalkan.

Amara tidak tahu apa reaksi Selma nantinya. Mungkin wanita itu akan marah. Mungkin ia akan menamparnya dan mengatainya perempuan sialan perebut suami orang. Semua skenario itu melekat di otak Amara, seperti drama picisan di televisi yang kadang ditontonnya.

“Aku selalu mencintaimu, Amara…” Bisikan itu membuyarkan lamunan Amara. Wajah Daniel mendekat. Diciumnya lembut pundak Amara.

Amara tidak bisa menolak. Ia biarkan saja Daniel melakukan apapun yang ia suka. Meski demikian, otak Amara berpikir keras. Sampai kapan ia seperti ini? Menjadi selingkuhan laki-laki yang ia cintai?

***

Amara ingat saat ia pertama bertemu Daniel. Mereka satu sekolah. Waktu itu Daniel menjadi incaran seluruh gadis di sekolah. Bagaimana tidak? Daniel tampan, kaya dan anak pengusaha. Semua gadis berebut menjadi kekasihnya. Kecuali satu, Amara. Itulah yang membuat Daniel penasaran. Ia memiliki segalanya—sesuatu yang dilirik gadis normal. Tapi, seperti tak tergiur itu semua, Amara bersikap tak acuh. Ia tak peduli pada Daniel barang seujung kuku pun.

“Aku akan membuatmu suka padaku. Pasti!”

Begitu ujar Daniel angkuh pada Amara. Amara mencibir. Ia tahu Daniel hanya merasa tertantang. Semua laki-laki selalu seperti itu. Egonya tinggi. Meski demikian, diam-diam Amara merasa berbunga-bunga. Rasanya lucu sekali melihat seorang laki-laki melakukan hal bodoh demi menarik perhatiannya.

Lalu, entah bagaimana Amara luluh. Ia pun menjadi kekasih Daniel.

Amara ingat Daniel begitu menyayanginya waktu itu. Masa sekolah dan kuliahnya penuh dengan Daniel. Amara bahkan tak peduli dengan nasihat Bunda kalau laki-laki adalah sumber malapetaka. Sama seperti yang dilakukan ayah Amara yang menelantarkannya.

Seumur hidup, Amara tak pernah bertemu ayah kandungnya. Kata Bunda, kehadiran Amara awalnya tak dikehendaki. Apalagi status Bunda cuma wanita simpanan. Ayah Amara pun pergi, tanpa pernah kembali lagi.

Amara berpikir kebahagian yang diberikan Daniel akan bersifat selamanya. Hingga tiba-tiba, laki-laki itu lenyap. Ia menghilang begitu saja. Tanpa alasan, atau pesan. Hal itu membuat Amara teringat nasihat Bunda. Benarkah semua laki-laki seperti itu?

Amara gusar. Ia tak bisa menghubungi Daniel. Daniel pindah rumah. Ponselnya pun tak aktif. Amara kebingungan setengah mati. Daniel seperti diculik. Amara memang sempat mendengar ayah Daniel tinggal di Singapura. Satu pikiran menyeruak dalam benaknya. Mungkinkah Daniel pergi menemui ayahnya? Atau ia dipaksa meninggalkan Indonesia untuk satu urusan? Amara sungguh tak tahu-menahu tentang hal itu.

Tahun-tahun dilalui Amara bagai mayat hidup. Ia sangat mencintai Daniel. Amara menolak laki-laki manapun yang mampir dalam hidupnya. Ia yakin Daniel akan kembali. Mereka pernah berjanji untuk hidup bersama. Daniel tak mungkin melupakan janji itu.

Lalu, setelah lima tahun menunggu, Amara akhirnya berhasil bertemu Daniel. Tak ada yang berubah dengan laki-laki itu. Kecuali cincin yang melingkar di jari manisnya. Cincin yang menandakan Daniel telah dimiliki seseorang.

Namun, seperti tak menghiraukan hal itu, Daniel menghampirinya. Tanpa ada yang tahu, mereka berpelukan dan berciuman dalam toilet kantor. Ada rindu tak berkesudahan dalam mata Daniel. Amara tak bisa menyangkalnya. Ia pun merasa seperti itu.

“Ya Tuhan, aku merindukanmu! Sangat merindukanmu!” Daniel lepas kontrol.

Amara tak bisa membohongi perasaannya sendiri. Ia memeluk Daniel erat. Sejenak Amara mencoba tak peduli. Bahwa Daniel adalah suami dari Selma. Perempuan yang menjadi atasan di tempatnya bekerja.

***

Jangan menghubungiku untuk sementara waktu. Sepertinya Selma tahu sesuatu.

Amara menatap hampa layar ponselnya. Ia mendengus. Inikah hasil pertemuan singkatnya dengan Daniel kemarin? Kecurigaan Selma yang makin mendalam kalau Daniel berselingkuh?

Amara menghela napas. Di kantor ia bersikap sewajar mungkin. Selma pun tak menaruh minat padanya, kecuali dengan hasil kerja Amara. Amara mencoba tak melakukan kesalahan, agar Selma tak sering mendatangi mejanya.

Amara menatap berkas-berkas di atas meja yang harus ia kerjakan. Tapi, otaknya penuh. Ia tak bisa berpikir. Ia ingin istirahat. Kalau perlu dalam waktu lama. Mengambil cuti barangkali?

“Amara, kau ada waktu?”

Sekonyong-konyong, Selma berdiri di depannya, membuyarkan lamunan Amara tentang cuti yang ingin diambilnya. Perempuan itu tampil chic, cantik, dan berkelas. Khas wanita metropolitan.

“Ya?” Mata Amara mengerjap.

“Makan siang nanti kau ada waktu?”

“Oh, tentu.”

Selma melenggang pergi. Amara mengikuti punggungnya. Jantungnya berdegup kencang. Ya Tuhan, apakah ini akhir dari kisah perselingkuhannya?

***

Tubuh Amara tegang. Walau tak nafsu makan, tapi ia mencoba menghabiskan steak yang ia pesan. Sementara Selma yang duduk di hadapannya, mengunyah daging dengan tenang. Sikapnya sangat terkendali, membuat Amara dilanda ketakutan hebat.

“Aku tak habis pikir bagaimana ini bisa terjadi,” ucap Selma tiba-tiba. Ia mengambil beberapa lembar foto dari tasnya, lalu dilempar ke dekat piring Amara.

Amara melotot. Itu adalah foto-fotonya di depan hotel bersama Daniel.

“Kau pikir aku tidak tahu?”

Amara membeku. Ia tak bisa membantah.

“Seorang istri pasti sadar kalau gelagat suaminya berubah. Aneh sekali, padahal dulu waktu di Singapura, dia terkesan dingin. Tapi di sini, dia sering gelisah. Seolah-olah ada sesuatu yang dia sembunyikan. Akhirnya, aku menyuruh seseorang untuk mematainya. Lalu, aku mendapatkan foto-foto itu. Mengejutkan sekali. Apalagi setelah tahu kalian pernah berhubungan dulu. Kupikir Daniel hanya pria dingin yang terpaksa menuruti kemauan ayahnya yang otoriter. Ternyata dia punya sisi lembut juga.”

Amara masih tak bersuara. Sejauh mana Selma tahu?

Selma meletakkan garpu dan pisaunya. “Kau pasti penasaran dari mana aku tahu. Kalau kau punya banyak uang, informasi mudah sekali kau dapatkan.”

“Aku…”

“Kuberi tahu satu hal, Amara,” potong Selma seraya mencondongkan tubuhnya. “Kau dan Daniel tak bisa bersama. Sejak ayah Daniel tahu tentang kalian berdua, dia yang membuat Daniel pergi dari hidupmu. Dan memaksanya menikah denganku.”

“Apa maksudmu?”

“Ayah Daniel yang memberitahuku. Waktu aku bertanya apa dia tahu tentangmu, Amara Claudia, dia bilang tahu. Terutama ibumu. Dia mengenal ibumu.”

“Bagaimana dia kenal ibuku?” Amara merengutkan kening heran.

“Ayah Daniel bilang dulu dia pernah berhubungan dengan ibumu. Yah, bukan hubungan serius, hanya main-main. Meski ibumu tak berpikir seperti itu. Padahal dia baru saja menikah. Bahkan istrinya tengah hamil.” Selma tertawa kecil. “Ah, bukannya kau tidak punya ayah, Amara? Kau tidak pernah bertemu ayahmu kan?”

Rasa tidak nyaman menggerogoti kerongkongan Amara. Seolah ada batu besar yang menyumbat di dalam sana.

“Lucu sekali. Takdir itu aneh. Kau dan Daniel bertemu, lalu jatuh cinta. Bayangkan waktu ayah Daniel tahu mengenaimu. Juga ibumu.”

Amara merasa mual. Tiba-tiba ia teringat ucapan Bunda tiap ia menanyakan perihal ayahnya.

“Ayah? Kau tidak punya ayah, Amara. Laki-laki hanya menaburkan luka. Setelah puas, mereka pergi seenak hati. Mereka lupa apa yang pernah dijanjikan. Mereka hanya menginginkan tubuh kita. Ingat itu. Jangan jatuh cinta pada laki-laki seperti itu.”

“Kau tidak menyangkanya, bukan? Kau dan Daniel punya ayah yang sama?” ucap Selma. Senyum kemenangan tersungging di bibirnya.

Amara berdiri. Perutnya bergejolak. Tanpa menghiraukan Selma, Amara berlari ke toilet. Ia muntah. Membayangkan banyak hal yang dilakukannya bersama Daniel, perutnya makin mulas. Ia muntah sejadi-jadinya.

***

1 comment:

  1. Keren sekali cerpen dewasanya, Mbak Eni.
    Dan saya banyak belajar dari cerpen Mbak Eni.

    ReplyDelete