Quotes Novel "Resilience: Remi's Rebellion"
Bukannya setiap manusia memang memainkan peran biar diterima masyarakat? Karena itu, kayaknya aku butuh bantuan untuk menciptakan peranku. Asal enggak mengubah diriku jadi menjinjikkan, aku bersedia. (hal. 29)
Dunia berpihak pada mereka yang berparas bagus. Kalau kamu menyangkalnya, maaf-maaf saja, harus kubilang kamu hipokrit. Dengan menjadi cantik atau tampan, otomatis setengah masalah hidupmu terselesaikan dengan sendirinya. Dunia tidak berpihak pada mereka yang jelek, apalagi di era milineal yang mengagunkan penampilan luar seperti sekarang. Terlebih lagi, bila kamu tidak mempunyai daya pikat lain, kamu akan berakhir seperti orang yang jelek-yang-payah sepertiku (hal. 67-68)
Tidak semua orang seburuk yang kubayangkan dan aku tidak boleh memukul rata generalisasiku terhadap suatu kelompok pertemanan. (hal. 104)
Paling tidak, baru kusadari bahwa mengenal beragam orang dan berusaha tidak membenci mereka ternyata tidak sesulit yang kubayangkan. (hal. 104)
Percayalah, lebih banyak destruksi yang diakibatkan oleh cinta, alih-alih konstruksi. Sisi skeptisku—biarpun aku berusaha keras menyingkirkannya—sesekali tetap membelesak keluar. Sisi tersebut memberitahuku bahwa cinta itu omong kosong. Cinta membuatmu cengeng. Cinta melemahkanmu. Cinta itu berisik. Cinta itu egois dan produk kapitalis. Satu-satunya cinta yang kamu perlu berikan hanyalah untuk makanan dan hewan peliharaan (ralat, dua cinta, kalau begitu). (hal. 106)
Aku benci harus menuliskan semua ini di sini, tetapi aku terlalu malu untuk bercerita kepada Sanri atau Kino tentang keluhan-keluhanku yang tidak berkesudahan. Aku benci tidak bisa berteman dengan semua orang sekeras apa pun aku berusaha. Aku benci kalau-kalau mereka membenciku betapa aku pun mencoba berubah. Aku benci tidak bisa bersolek dan bertingkah manis. Aku benci berwajah jelek dan tidak diinginkan. Aku benci tidak dicinta dan didamba. Aku benci akan ketakutanku berakhir seperti mendiang pamanku. Aku benci Tuhan mendengarku. Di atas itu semua, aku benci keegoisan diriku yang hanya mementingkan kekuranganku dibanding kemalangan orang lain. (hal. 173)
Sering kali aku bertanya-tanya dalam diri, bagaimana rasanya bahagia? Ketika orang-orang sibuk memamerkan kebahagiaan mereka, aku masih berusaha mendefinisikan kebahagiaan sambil meraup apa-apa yang tersisa dari nuraniku yang berkarat. Akulah ahlinya dalam berpikirkan buruk, menyangka bahwa bahagia hanya iming-iming fana. Hingga kini, kurasa akhirnya aku mengetahuinya. Beginilah rasanya bahagia. (hal. 189)
Mereka tidak pernah memperingatkan bahwa kedekatan personal bisa menimbulkan ketergantungan. Betapa pada akhirnya kamu jadi sangat bergantung kepada orang tersebut dan merasa tidak bisa melakukan apa-apa tanpanya. Dan, tanpa kusadari, aku telah terjangkit ketergantungan itu. (hal. 213)
Terpuruk, aku pun mengurung diri berhari-hari di dalam kamar. Semuanya tiba-tiba gelap. Semuanya mendadak tidak bermakna. Apa-apa yang biasa kulakukan untuk memperoleh kenyamanan—menulis, membaca, mendengarkan lagu, hingga menonton serial komedi—bahkan tidak menarik minatku lagi. Tiada hari tanpa aku berkeinginanan untuk mati. Aku mulai meragukan eksistensi Tuhan. Aku mulai berhenti berdoa karena curiga tidak ada yang mendengar. Berangsur, aku menjadi apatis terhadap emosi spritual. Kini, aku masih mengupayakan diri untuk kembali percaya—meskipun tidak mudah karena, sekali tersesat, manusia cenderung terus kehilangan arah. (hal. 244)
Mengidapnya atau tidak, mental illness itu sama sekali tidak keren. Mengaku punya gangguan mental bukan cara tepat untuk mendapatkan perhatian orang lain. Makanya, terkadang aku ingin menjewer diriku di masa lalu karena menganggap hal-hal trivial sebagai beban besar padahal masih banyak hal penting untuk dilakukan. (hal. 246)
Mereka bilang, rumus bahagia adalah kesuksesan ditambah uang banyak. Akar dari kesuksesan sendiri bisa terdiri dari popularitas, promosi jabatan, koneksi dengan orang-orang penting, pernikahan awet, dan anak-anak yang berprestasi. Namun, bagaimana bila tidak harus seperti itu? Bagaimana bila kebahagiaan bukan terletak pada kuantitas harta yang dimiliki? Bagaimana bila bukan pula bergantung pada jumlah anak yang dilahirkan? Bagaimana bila anak bukanlah pajangan yang perlu disemati atribut prestasi, semata supaya dia tidak merasa seperti produk gagal? Kupikir barangkali pikiran salah kaprah mengenai kebahagiaan inilah yang menyebabkan orang-orang zaman sekarang rentan terkena stres dan gangguan mental. (hal. 259-260)
Pasalnya, dunia tidak bekerja seperti fiksi. Hal-hal delusional di novel romansa nyaris tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Para wanita tidak bisa seenaknya berekspetasi, berharap pria akan menyelinap masuk ke dalam kehidupan mereka lantas menyelamatkan mereka dari kekejian dunia. Percayalah, wanita-wanita demikian malah akan divonis mengidap Cinderella Complex oleh masyarakat moderen. Di dunia nyata, tanpa modal harta dan tampang, jarang sekali ada orang yang akan begitu saja menyatakan cinta setelah pertemuan singkat. Tidak ada pahlawan yang mendadak memasukkan cincin ke jadi manis lalu melengkapi hidup kita selama-lamanya. Tidak ada pangeran berwujud bangsawan atau CEO yang akan tiba-tiba menikahi kita secara faali kemudian memerangkap kita dalam bahtera rumah tangga yang konon bahagia. (hal. 331)
Kini, sudah saatnya aku berhenti membandingkan hidupku dengan hidup orang lain. Itu tidak akan ada habisnya, sungguh. (hal. 333)
Kesendirian bisa melumpuhkan seseorang sampai dia setara mampus, tapi dukungan dan kasih sayang dari orang lain bisa mendorong seseorang sampai melampaui limit. (hal. 352)
Kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit, itulah yang orang-orang butuhkan, bukan? Memang lebih mudah diucapkan sebagai teori daripada diterapkan secara praktis, tetapi pola pikir demikian penting ditanamkan dalam benak manusia. (hal. 352)
Dalam hidup, kita akan bertemu seseorang, jatuh cinta kepadanya teramat dalam, tetapi bukan berarti dia diciptakan untuk mendampingi kita selama-lamanya. Menyukai seseorang bukan berarti dia akan membalas perasaan kita karena timbali balik bukanlah sesuatu yang senantiasa terjadi di dunia nyata. Kemudian, pada akhirnya, suka atau tidak, kita harus melepaskan orang itu demi kebaikan diri sendiri dan orang yang kita kasihi. (hal. 366)
Seberapa besar kemungkinannya, dari ratusan hingga ribuan manusia yang kamu temui sepanjang usia, kamu bisa menemukan seseorang yang benar-benar memahami dirimu? Seberapa besar peluangnya, dari seribu cermin palsu yang disodorkan kepadamu, kamu akhirnya bisa menemukan satu-satunya cermin sejati yang merefleksikan dirimu? Mungkin hanya satu kali seumur hidup dan aku tidak mau melewatkan kesempatan ini. (hal. 387)
Satu hal yang kupelajari, mungkin selama ini aku hanya fokus melihat sisi baik Kino, yang berujung pada kekecewaan drastis dan penyangkalan tanpa henti begitu menemukan titik-titik cela miliknya. Padahal, tidak perlulah mendewakan seseorang karena tidak ada yang namanya Tuan dan Nona Sempurna. Semua memiliki kecatatan indahnya masing-masing. Menyukai seseorang berarti kita menerima orang lain secara utuh dengan segala kekurangannya. Dan sepertinya, itulah yang kurasakan terhadap Emir sekarang. (hal. 391)
Selalu, di hadapannya, kisah-kisah masa lalu menjelma serapah dan masa depan tidak lagi menyerupai algojo menyeramkan. (hal. 413)
Satu sahabat. Kadang yang kita butuhkan hanya satu sahabat baik dalam menghadapi karut-marut dunia. Satu sahabat sudah cukup sebagai alasan tetap hidup. Satu sahabat sudah cukup untuk mengembalikan seorang ingkar menjadi pemercaya. Saat aku merasa Tuhan menelantarkanku pada kegagalan pertamaku beberapa tahun lalu, aku kembali percaya pada-Nya karena dia mengirimkan sahabat seperti Jois. Tidak ada yang namanya tidak bisa bahagia, yang ada hanya kurang bersyukur. (hal. 434)
Bagiku, meskipun masa lalu merupakan algojo menyeramkan, masa depan tidak serta-merta lebih baik. Masa silam berisi kenangan yang sudah jelas, sedangkan masa depan dipenuhi ketidakpastian. Dipenati harapan yang entah akan terkabul atau terkubur. (hal. 470)
Mengapa orang-orang harus pergi? Mengapa mereka tidak bisa selalu bersamaku? Andai aku bisa mengurung mereka seperti ikan-ikan di dalam akuarium dan kucing-kucing di dalam kandang, aku pasti sudah melakukannya. Hanya saja, setiap orang memang hanya untuk dirinya sendiri—every man for himself. Atas alasan tersebut, daripada terus-menerus ditinggalkan, aku lebih memilih turut melarikan diri. Kabur ke tempat di mana orang-orang tidak mengenalku dan memulai dari awal. Memang begitulah aku. Sampai mampus aku hanya eskapis. (hal. 435)
wiii bahagia~
ReplyDelete