Dimuat di Majalah Kawanku Edisi 181 (9-23 Juli 2014)
Bisa juga dibaca di sini
Nilam dan Gelang Perak
Toko itu sepi. Papan namanya yang bertuliskan Antique sedikit bergoyang tertiup angin. Mata Nilam menyusuri papan nama itu yang ditulis dengan cat berwarna emas. Ada hiasan abstrak di sekelilingnya. Sangat artistik.
Nilam terpaku di depan toko itu. Sepertinya bukan toko peralatan tulis atau toko kelontong. Bangunannya didominasi warna cokelat tanah, terkesan tua. Entah dorongan dari mana, Nilam memberanikan diri untuk mendekat.
Wangi lavender menyerbu hidung saat Nilam membuka pintu. Bagian dalam toko itu terkesan suram. Barang-barang yang dijual juga terkesan tidak layak.
“Ada yang bisa saya bantu?”
Jantung Nilam seakan melompat dari mulut. Ia memutar badan dan melihat seseorang tersenyum padanya.
Rambut orang itu digulung ke atas. Bajunya ketat dengan model cheongsam. Matanya sipit, seperti keturunan Tionghoa.
“Ada yang bisa saya bantu? Atau mau lihat-lihat dulu?”
Nilam gelagapan. “Anu… saya…”
Perempuan itu tersenyum manis. “Perkenalkan nama saya Mei Mei. Saya bisa membantumu menemukan barang yang kamu suka. Mari ikut saya.”
Mei Mei membimbing Nilam masuk lebih dalam. Mata Nilam memerhatikan sekeliling. Ada jam besar tua yang masih berfungsi, piano hitam metalik, kursi goyang dengan banyak ukiran, patung, guci… banyak sekali!
“Maaf, sebenarnya apa yang dijual di toko ini?” tanya Nilam.
“Ini toko barang antik.”
Mata Nilam mengerjap takjub. Mei Mei membuka kaca etalase. Tangannya terulur, mengambil sepasang anting emas. Bentuknya seperti kelopak mawar.
“Anting ini cocok untukmu.”
Nilam menggeleng. “Saya tidak suka anting. Kalau gelang?”
“Saya tahu kamu akan memilih gelang. Memang sesuai kepribadianmu.”
Mei Mei mengambil sesuatu dari dalam etalase. Sebuah kotak beludru berwarna biru. Mei Mei menyerahkan kotak itu kepada Nilam. “Apa kamu suka gelang ini?”
Nilam memerhatikan gelang itu. Warnanya putih keperakan. Bola-bola kecil berwarna jingga tampak di salah satu sisinya, seperti manik-manik.
Sejenak Nilam terpaku melihat gelang itu. Ia pun mengangguk kecil. “Iya, saya suka yang seperti ini. Tapi… maaf. Saya sedang tidak bawa uang.”
Mei Mei menepuk tangan Nilam yang menggenggam kotak beludru itu. “Jangan khawatir. Saya tidak terobsesi dengan uang saat membuka toko ini. Saya sangat menyukai barang. Mereka bercerita, walau tak terdengar. Saya berusaha mendengarnya. Barang ini memang milikmu. Dia sudah memastikan dirinya menjadi takdirmu.”
“Tapi…”
“Saya menghadiahkannya untukmu. Gratis. Ini hadiah karena kamu pengunjung pertama toko ini. Tidak masalah kan?”
“Tapi…”
“Terimalah.” Mei Mei bersikeras.
“Baiklah. Terima kasih. Saya akan menjaganya baik-baik.” Nilam menggenggam kotak beludru itu. Ia menatap Mei Mei. Perempuan itu sedikit aneh dan misterius. Ah, tapi sudahlah. Ia tidak ingin memikirkannya.
“Hati-hati.”
Nilam menoleh.
“Seperti kata saya, semua barang berbicara. Berhati-hatilah. Kalau ada sesuatu, datanglah menemui saya. Ikatan takdir selalu mempertemukan dua hal. Keterikatan yang absolut. Itu tidak bisa dicegah oleh siapa pun, karena mereka memang ditakdirkan untuk bertemu. Pahamilah hal itu.”
Nilam mengerutkan kening, tidak mengerti maksud pembicaraan Mei Mei.
***
Nilam terbangun. Peluh membanjiri tubuhnya. Keningnya mengerut saat mengingat mimpinya barusan. Mimpi yang aneh. Ia berlari menembus kabut, seperti dikejar sesuatu. Nilam bergidik. Walau hanya mimpi, entah kenapa seperti nyata saja. Bahkan perasaan lelah karena habis berlari itu seperti dialaminya.
“Cuma mimpi,” pikir Nilam. Ia menarik selimut, berusaha kembali tidur.
***
Nilam mendelik kesal pada kucingnya Milky. Hari ini kelakuan Milky sangat menyebalkan. Ia menaiki meja, mendesis seolah ada orang jahat, lalu menyenggol gelas Nilam. Saat Nilam menyapu pecahan gelas, tanpa sengaja kakinya menginjak beling hingga berdarah.
Setelah membersihkan luka dengan alkohol dan diberi plester, Nilam duduk di sofa. Milky meringkuk di kandangnya. Ia tidak mau mendekati Nilam.
“Nilam, kamu nggak pergi les?!” teriak Mama dari kamarnya.
“Iya, Ma!” Nilam melirik jam dinding di ruang tengah. Hampir pukul tiga sore.
“Aku akan membunuhmu, Maria…”
Suara itu lembut, nyaris berupa bisikan. Nilam terpaku. Aura dingin menyergap tengkuknya. Ia yakin suara itu berasal dari ruangan ini. Masalahnya, siapa yang berbicara? Atau itu cuma halusinasinya saja? Bulu kuduk Nilam seketika meremang.
***
Nilam berjalan di trotoar seraya menghela napas lelah. Dua jam les piano membuatnya frustasi. Pak Danu terus-terusan berkomentar tidak puas dengan nada-nada yang dihasilkan jemarinya.
Nilam berbelok di tikungan. Matanya segera tertumbuk pada papan nama bertuliskan Antique. Seketika Nilam teringat pada Mei Mei.
Sebenarnya, Nilam merasa tidak enak mendapatkan gelang itu dari Mei Mei tanpa membayarnya. Akhirnya, ia memutuskan mampir sebentar ke toko itu. Barangkali ada benda bagus yang bisa ia beli, sebagai ganti gelang pemberian Mei Mei.
Nilam menunggu di depan zebra cross. Kendaraan berlalu lalang di depannya. Saat lampu lalu lintas berubah merah, Nilam berjalan pelan melintasi zebra cross.
Saat berada di tengah jalan, tubuh Nilam tidak bisa digerakkan, seolah ada yang mencekal kakinya. Nilam gelagapan. Lampu sudah berubah hijau. Ia menoleh. Sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Nilam melihat sopir mobil itu memalingkan wajah dan meneriaki penumpang yang duduk di sebelahnya.
Lalu… BRAAAAK!!
Tubuh Nilam membentur mobil itu. Tubuhnya terpelanting. Darah berceceran, beraroma anyir. Nilam mencoba membuka mata. Tubuhnya sakit dan terasa ngilu di beberapa bagian.
“Aku akan membunuhmu, Maria…”
Suara itu lagi!
Setengah sadar, Nilam melihat Mei Mei. Perempuan itu berdiri di antara kerumunan orang yang mengelilingi tubuhnya yang bersimbah darah.
Mulut Nilam terbuka. Ia mencoba berbicara saat kesadaran lain mengambil alih tubuhnya.
“Bawa ke rumah sakit!! Cepaaaatt!!”
Teriakan beberapa orang mengantar Nilam tertidur pulas.
***
Tangan Maria bergetar. Pisau yang ia pegang jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi denting yang tidak nyaman di telinga. Lily, saudara kembarnya yang berparas cantik itu terbaring kaku di atas tempat tidur. Darah merembes ke luar dari balik baju tidurnya yang berwarna putih.
Maria tertawa puas. Tapi, baginya ini saja tidak cukup. Maria segera berlari menuju dapur. Ia ingin membakar habis seisi rumah Lily.
Percik api mulai membakar korden. Api perlahan merambat, menghanguskan seisi rumah Lily, hingga tak ada lagi yang tersisa. Rumah itu tinggal puing-puing. Lalu bertahun-tahun kemudian, seseorang menemukan sebuah gelang keperakan dari puing-puing rumah itu. Gelang Lily.
“Wah, aku akan menjual gelang ini,” ucap orang itu.
“Aku akan membunuhmu, Maria…”
Suara itu samar-samar terdengar. Sampai sekarang.
***
Nilam membuka mata. Bau-bauan aneh menyergap hidungnya. Saat mencoba bangun, ia melihat Mei Mei duduk di samping tempat tidurnya.
“Orang tuamu akan datang sebentar lagi. Kamu sudah merasa baikan? Rumah sakit memang tempat untuk merawat orang sakit. Tapi, saya merasa tidak nyaman di sini. Banyak hal menyeramkan. Saya bisa merasakannya.”
Nilam menatap Mei Mei dengan ekspresi was-was. Tubuhnya menggigil. Ada sesuatu pada perempuan itu. Sesuatu yang membuatnya takut.
Tiba-tiba saja, Mei Mei menunjuk gelang berwarna keperakan yang melingkar di lengan Nilam. Wajahnya kontan berubah. “Saya tahu gelang itu pasti menimbulkan masalah. Seharusnya saya tidak memberikannya padamu.”
“Aku tidak mengerti.”
“Ada hal-hal aneh yang terjadi bukan?”
Nilam mengangguk, mengingat apa yang sudah terjadi setelah ia memakai gelang pemberian Mei Mei. “Sebenarnya, ada apa dengan gelang ini?” tanya Nilam ingin tahu.
“Aku akan menceritakan sebuah kisah. Kira-kira 500 tahun lalu di Inggris. Ini kisah tentang dua orang kakak beradik bernama Maria dan Lily. Lily sangat cantik. Sementara Maria buruk rupa. Lily dengan mudah bisa memiliki pria mana pun, termasuk pria yang disukai Maria. Hal itu membuat Maria membenci Lily. Dia berpikir karena keberadaan Lily, dia tidak dilirik laki-laki mana pun. Akhirnya, dia membunuh Lily dan membakar seisi rumahnya.”
Mata Nilam membulat.
“Gelang yang kamu pakai itu adalah satu-satunya yang tersisa dari tubuh Lily. Gelang itu bercerita pada saya.” Mata Mei Mei terpejam. Ia membuka mata, lalu menatap Nilam. “Gelang ini… ia ingin balas dendam pada Maria yang telah membunuhnya. Dan kamu adalah reinkarnasi Maria.”
“Apa?!” Mata Nilam membeliak.
“Mungkin roh Lily tidak terima dibunuh oleh Maria. Keinginan itu ia simpan dalam gelang miliknya.”
Mendengar cerita itu, Nilam spontan mencopot gelangnya dan memberikannya pada Mei Mei. “Aku tidak mau memakai gelang ini lagi!”
Mei Mei memasukkan gelang keperakan itu ke dalam tas. Perempuan tinggi itu tersenyum pada Nilam.
“Saya tidak bisa mencegah keinginan gelang ini. Takdirlah yang mempertemukan kalian.” Mata Mei Mei menerawang. “Keinginan atau pun kenangan suatu barang kadang memang menakutkan. Misalnya saja barang-barang di kamar ini. Perlu kamu tahu, ranjang yang kamu tiduri itu, beberapa hari lalu seseorang meninggal di sana. Dan meja di sampingmu itu… pembuatnya bunuh diri sehari setelah meja itu selesai dibuat.”
Nilam mengerjapkan mata. Perasaan takut itu datang lagi. Ia merasa tidak nyaman berdekatan dengan perempuan berpakaian cheongsam itu.
Mei Mei tersenyum kecil. “Saya pergi dulu. Mungkin lima menit lagi orang tuamu datang. Terima kasih sudah mampir ke toko saya.” Mei Mei beranjak pergi dari hadapan Nilam.
***
Nilam baru saja pulang dari les piano. Jalannya sedikit terpincang-pincang, efek dari kecelakaan yang menimpanya seminggu lalu.
Di tikungan, langkah Nilam tiba-tiba terhenti. Ia mendongak, melihat papan nama bertuliskan Antique yang bergoyang ditiup angin.
“Aku tidak mau ke sana lagi. Toko itu menakutkan,” pikir Nilam. Saat hendak memutar tubuh, mata Nilam menangkap sosok yang amat dikenalnya. Pak Danu, tutornya di kelas piano, memasuki toko itu.
***
Sementara itu di dalam toko…
Aroma lavender menguar ke seluruh penjuru ruangan. Detik-detik jam berdetak pelan, mengantar pengunjung toko itu ke dimensi lain—dimensi yang tidak mampu diprediksi nalar manusia. Seperti misteri yang terkubur dari kisah di masa lalu.
Mei Mei memejamkan mata. Ia bisa mendengar suara-suara itu di kepalanya. Suara dari benda-benda berharga yang ditemukannya.
Seorang pria membuka pintu. Mei Mei mendekat. Ia tersenyum pada pria itu.
“Selamat datang di toko saya. Ada benda yang Anda inginkan? Saya bisa memberi tahu barang bagus untuk Anda. Ehm… sepertinya piano hitam itu cocok untuk Anda. Anda seorang pianis, bukan?”
“Bagaimana Anda bisa tahu saya seorang pianis?” tanya pria itu heran.
Mei Mei tersenyum. Ia menunjuk piano warna hitam di pojok ruangan. “Piano itu yang mengatakannya pada saya.”
***
0 comments:
Post a Comment