May 17, 2015

Dia, Tanpa Aku

0


REVIEW DIA, TANPA AKU

Judul: Dia, Tanpa Aku
Penulis: Esti Kinasih
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Januari 2008
Tebal: 280 halaman
ISBN: 979-22-3441-1

Blurb:

Ronald, cowok kelas 2 SMA, sudah naksir Citra yang masih kelas 3 SMP. Tapi Ronald belum mau PDKT. Ia menunggu sampai Citra masuk SMA, karena itu ia hanya bisa mengamati Citra dari jauh.

Saat yang ditunggu Ronald selama berbulan-bulan akhirnya tiba. Citra masuk SMA! Namun Ronald kecewa karena ternyata Citra masuk SMA yang sama dengan adiknya, Reinald, dan sekelas pula. Namun, keinginan dan harapan terbesar Ronald untuk mendekati Citra tak pernah terwujud. Cowok itu kecelakaan dan tewas di tempat, tidak jauh dari rumah Citra.

Reinald menganggap Citra-lah penyebab kematian kakaknya. Rasa marah dan keinginannya untuk menyalahkan Citra membuat sikapnya terhadap cewek itu menjadi penuh permusuhan. Keduanya kemudian kerap bertengkar tanpa Citra tahu pasti alasan sebenarnya.

Sikap Reinald berubah drastis ketika Citra memutuskan tidak lagi mengacuhkannya. Kini Reinald berada di posisi yang sama seperti Ronald dulu. Perubahan sikap Reinald itu tanpa sadar mendekatkan keduanya. Dan akhirnya Reinald tak lagi ingin menjaga Citra demi almarhum kakaknya.

“Gue suka cewek lo,” ucap Reinald suatu hari di depan foto Ronald. Dan itu membuat sang kakak kemudian “kembali”!

Review:

Sudah lama Ronald naksir Citra yang imut dan manis, seperti artis Korea Jang Nara. Sayang, ia tak berani PDKT karena Citra masih SMP. Bagi Ronald, pantang PDKT atau pacaran sama cewek di bawah umur. Sebagai gantinya, Ronald mengamati dan memerhatikan Citra diam-diam. Ia sampai punya sederet info akurat mengenai Citra. Tanpa diketahui cewek itu pula, Ronald juga sering nongkrong di depan sekolahnya, bahkan naik bus bareng, semata-mata agar ia bisa selalu mengawasi Citra dari kejauhan.

Andika, sahabat Ronald ketiban sial jadi tempat curhat Ronald. Apa saja tentang Citra dari A-Z diceritakan pada Andika. Reinald, adik Ronald pun bernasib sama. Walau demikian, mereka tak menyalahkan Ronald atas obsesinya pada Citra. Mereka mendukung penuh Ronald bisa jadian sama Citra setelah Citra masuk SMA dan mereka akhirnya saling kenal.

Waktu yang ditunggu Ronald akhirnya tiba: detik-detik Citra memakai seragam SMA. Namun, ada satu hal yang membuat Ronald kesal. Citra tak satu sekolah dengannya, melainkan satu sekolah dan sekelas dengan adiknya Reinald. Reinald pun mendapat amanat dari Ronald agar selalu mengawasi dan menjaga Citra. Ronald tidak ingin Citra kenapa-kenapa selama di sekolah. Terlebih ketika MOS pasti ada saja senior yang usil pada murid baru.

Segala persiapan sudah dilakukan Ronald. Ia mantap akan berkenalan dengan Citra dengan bertamu ke rumahnya. Ia memakai kaos dan jins baru yang didapatkannya dengan susah payah—menabung dan berjualan lontong bakwan. Ronald juga membawa sebuket bunga untuk Citra. Ronald gelisah, juga gugup. Hari ini penentuan atas kesabarannya selama ini. Andika pun sama gugupnya. Ia mengantar Ronald naik taksi untuk sampai ke tempat tujuan cinta Ronald: rumah Citra.

Sayang, nasib buruk terjadi. Karena tak hati-hati saat menyeberang, Ronald tertabrak mobil. Andika yang masih dalam taksi dan melihat kejadian itu sontak berlari mendekati tubuh Ronald. Sayangnya, maut tak dapat ditolak. Dalam kecelakaan itu, Andika meninggal. Yang mengenaskan, kejadian itu tepat persis di dekat rumah Citra.

Tentu saja Andika terguncang dengan kejadian ini. Ia yang paling tahu bagaimana mendambanya Ronald pada Citra. Dan sekarang, Ronald pergi begitu saja, sebelum sempat mengutarakan perasaannya pada Citra. Sebelum Citra tahu ada orang yang menyimpan rasa begitu mendalam padanya.

Tak hanya Andika yang shock atas kematian Ronald. Reinald pun tak kalah terguncang dengan kematian kakaknya. Ia lalu mencari pelampiasan untuk mengurangi rasa sedihnya, yaitu seseorang yang bisa disalahkan atas musibah yang menimpa kakaknya. Citra lah yang akhirnya dijadikan pelampiasan Reinald.

Citra yang tak tahu apa-apa, sontak bingung kenapa Reinald sering marah-marah padanya. Ketika Citra minta kejelasan, ia malah terdampar di samping bangku Reinald. Tak hanya itu saja. Reinald bahkan melakukan segala cara agar Citra tak kembali ke bangkunya semula. Alasan Reinald melakukan hal itu adalah ia ingin memproteksi Citra secara menyeluruh. Ia juga ingin memastikan Citra tak diambil siapa pun. Ia melakukan itu semua demi Ronald yang begitu menyayangi Citra.

Kebiasaan Reinald yang sering marah-marah makin menjadi. Hal ini membuat Citra stres. Hingga akhirnya, ia menemukan solusi jitu atas masalahnya, yaitu dengan mengabaikan Reinald. Rupanya, diamnya Citra membuat Reinald tersulut emosi. Ia lebih suka Citra menanggapi kemarahannya dengan adu mulut dibanding didiamkan dan dianggap tidak ada. Jauh di lubuk hatinya Reinald tak ingin berada di posisi Ronald dulu yang hanya memerhatikan Citra dari kejauhan.

Kebekuan hubungan Reinald dan Citra mencair ketika Reinald dihukum karena menggantikan Citra yang tidak membawa buku cetak PKN. Setelah kejadian itu, mereka tak terpisahkan. Reinald selalu ada untuk Citra untuk melindunginya. Terutama ketika sifat jail Citra kumat. Reinald lah yang pada akhirnya menjadi tameng Citra dari amukan teman sekelasnya.

Seiring kebersamaan mereka, perasaan sayang Reinald untuk Citra mulai tumbuh. Seraya menatap foto sang kakak, Reinald mengaku kalau ia menyukai Citra dan ingin memiliki cewek itu. Tentu saja tak ada jawaban dari Ronald atas keinginan Reinald tersebut. Namun, peristiwa demi peristiwa aneh yang terjadi, menimbulkan prasangka Reinald bahwa sang kakak memang ‘kembali’. Bukan dalam bentuk roh atau hal-hal yang berbau magis. Namun, dalam wujud pertanda-pertanda. Sesuatu yang menunjukkan kalau kakaknya mengawasi tindak-tanduknya.

Reinald pun gundah. Haruskah ia melepas Citra untuk seseorang yang tak ada? Seseorang yang tak mungkin kembali ke dunia?

***

Dia, Tanpa Aku, buku keempat Esti Kinasih ini begitu sarat emosi. Dari awal pembaca diajak bersimpati dengan tokoh Ronald yang begitu mendamba Citra. Usaha Ronald memang terbilang maksimal. Perasaannya terlihat jelas. Pembaca diajak menyelami isi hati Ronald melalui catatan-catatan kecil yang ditulisnya ketika mengamati Citra. Sekilas sikap Ronald memang seperti stalker. Hal ini terlihat bagaimana ia bisa tahu apa pun mengenai Citra, yang tentu saja dilakukannya diam-diam.

Bisa dibilang penokohan di novel ini sangat kuat. Deskripsinya pun nyaman dan tak berlebihan, menggunakan bahasa gaul dan sesekali sedikit nyastra dengan menyelipkan kalimat-kalimat yang quotable. Misalnya saja ketika Andika mengingat Ronald yang sudah meninggal:

“Tidakkah mereka, orang-orang yang sudah “pergi” itu juga merasakan kepedihan yang sama? Apakah mereka juga tetap mengingat dan menyimpan semua kenangan? Senyum terakhir orang-orang yang mereka tinggalkan. Pelukan terakhir. Tawa terakhir. Percakapan, pertengkaran, kemarahan, kesedihan. Canda dan tangis.” (hal. 82)

Nyaris tak ada plot yang bolong di novel ini. Semuanya terasa pas dan masuk akal. Meski kalau ditilik lagi, sedikit tak masuk logika ketika Ronald yang sudah meninggal bisa melakukan ‘komunikasi’ melalui radio dengan Citra, Andika, dan Reinald. Namun, sekali lagi kepiawaian deskripsi Esti Kinasih membuat pembaca memercayai setiap kata di novel ini. Alhasil, pertanda-pertanda ‘munculnya’ jiwa Ronald terlihat seperti sesuatu yang wajar dan bisa diterima.

Overall, novel ini sangat memuaskan. Aku memberi rating: 5/5 untuk novel ini.

0 comments:

Post a Comment