Seperti biasa, ilustrasinya juara! Berasa kebanting sama ceritanya, huhu. |
Cerpen ini dimuat di Gadis edisi 2 yang terbit tahun ini. Aku harus menunggu 7 bulan demi cerpen ini bisa terbit. Kenapa bisa lama sekali? Ya mana aku tahu. Sepertinya ada kebijakan-kebijakan baru yang diterapkan di Gadis, jadi terbitnya pun gak teratur seperti dulu. Tapi, gak apa. Semua penantian ini berbuah manis. Makasih, Gadis! Oya, ini cerpen versi asli yang kukirim. Kalau versi majalah sudah dipangkas di sana-sini karena terbentur halaman. Iya, emang aslinya cerpennya sepanjang kereta api, makanya mesti dipotong wkwkwk. Btw, ini cerpen paling cepet konfirmasinya. Aku kirim tanggal 22 September dan 6 hari kemudian sudah masuk antrian! Waw, aku merasa keren! Aku sampai ngerasa yang... lah kok cepet amat? Kayaknya ada typo deh. Ceritanya aneh gak sih? Maklum, kalau sifat perfeksionisnya kumat emang suka mikir gak jelas wkwkwk. Pokoknya... makasih, Gadis! Dan, buat yang gak sengaja liat, happy reading!
Sang Pengkhianat
Oleh: Eni Lestari
Begitu mobil melaju meninggalkan stasiun, aku sengaja meringkuk di jok belakang. Jemariku segera menggenggam e-book reader, mencoba berkosentrasi pada buku yang tengah kubaca. Tak kuhiraukan obrolan Mama dan Lisa yang heboh membicarakan Oma. Oma tinggal di Yogya. Selama setahun tinggal bersama beliau, Lisa jadi tahu kebiasaan lucu Oma di rumah.
“Bayangkan, Ma, masa Oma nggak tahu cara bikin mie instan goreng? Katanya repot mesti digoreng dulu.” Lisa terbahak keras, yang langsung disambut tawa Mama yang tak kalah kerasnya.
“Hahaha, Oma memang jadul. Makanya sedari dulu, Mama yang selalu disuruh bikin mie instan. Kamu tahu nggak, kalau Oma bikin mie instan rebus, airnya sedikit sekali, jadi rasanya superasin, lalu akhirnya dibuang. Setelah itu, Oma bakal mengomel seharian, menyalahkan produsen mie instan.”
Lisa dan Mama makin tertawa keras. Aku mendengus sebal, merasa terganggu dengan obrolan mereka. Karena makin lama tak bisa berkosentrasi, akhirnya kuputuskan untuk mematikan e-book reader-ku. Sebenarnya, novel fantasi yang kubaca sedang memasuki bagian klimaks. Tapi, mengingat ada gangguan, aku tak bisa menikmatinya sama sekali.
Dengan bibir manyun, kumasukkan e-book reader-ku ke dalam tas. Tak lama, mobil yang dikendarai Mama berhenti di sebuah toko kue dengan plang nama bertuliskan Naifa Bakery. Naifa Bakery adalah toko kue milik Mama yang dibangun setelah Papa meninggal. Lima tahun lalu, toko ini nyaris bangkrut. Untunglah Mama sanggup bangkit dari keterpurukan dan mempertahankan Naifa Bakery sampai sekarang.
Setelah Mama mematikan mesin mobil, kami segera turun. Tak lama kemudian, Mas Nanang selaku satpam Naifa Bakery datang. Ia membantu Mama membawa koper Lisa dan dua kardus besar berisi oleh-oleh khas Yogya.
Saat melihat Lisa, beberapa pegawai Naifa Bakery langsung menyapanya akrab. Mereka ngobrol santai dan bertanya bagaimana kehidupan Lisa di Yogya. Berhubung aku malas mendengar penuturan Lisa tentang betapa serunya tinggal di kota Gudeg tersebut, aku buru-buru menyusuri koridor menuju halaman belakang Naifa Bakery. Rumahku tepat berada di belakang Naifa Bakery, dipisahkan sepetak halaman dengan rumput Jepang yang dipangkas rapi dan pot-pot bunga mini yang ditata dalam kawat melingkar. Biasanya melihat koleksi pot bunga Mama membuatku merasa rileks. Sayangnya, tidak untuk hari ini. Tidak pula untuk seminggu ke depan saat Lisa ada di sini.
***
Aku merebahkan tubuh di atas ranjang, berniat tidur siang. Belum juga menutup mata, sekonyong-konyong pintu kamarku terbuka. Lisa muncul seraya tersenyum lebar. Tangan kanannya membawa dress batik berwarna marun dengan motif kembang-kembang.
“Ini oleh-oleh spesial buat Kakak. Gimana? Suka nggak?” seru Lisa sembari meloncat ke tempat tidurku. Aku mendengus. Kebiasaan adikku itu memang tak berubah sejak dulu.
“Taruh saja di meja. Aku mau tidur. Capek.”
“Okeee!” balas Lisa riang. “Oh iya, nanti jalan-jalan, yuk? Sama Panji juga boleh. Yah, reuni, gitu. Kan sudah setahun nggak ketemu. Mau, ya? Ya? Ya?” pinta Lisa dengan memasang mimik sok imut. Dulu, aku pasti akan mengiyakan permintaannya tiap ia bertingkah lucu begitu. Tapi, sekarang? Aku menjulingkan mata malas. Lebih baik aku tidur seharian daripada harus mendengar ocehannya.
“Ya, nanti lah,” sahutku seraya menarik selimut menutupi kepala, tanda supaya Lisa segera menyingkir dari kamarku.
“Sip, deh! Aku mau tidur juga, ah.” Dengan penuh semangat Lisa meloncat turun dari kamar tidurku, lalu bergegas keluar.
Aku menghela napas setelah pintu kamarku ditutup. Huh, Lisa benar-benar mengganggu. Apa ia tidak sadar semenjak dari stasiun aku bersikap ketus padanya? Aku bahkan malas bicara dengannya. Seharusnya ia sedikit sadar diri. Lagipula, meski setahun tak bertemu, aku juga tak merindukannya. Huh, buat apa juga aku merindukan pengkhianat macam dirinya?
***
Aku bersyukur Panji sibuk kerja part time di Café Louvre liburan ini, jadi ia menolak ajakan Lisa untuk pergi jalan-jalan. Kini, aku yang kelimpungan. Alasan apa yang bisa kupakai supaya aku tidak perlu menemani Lisa selama liburan? Aku tidak punya teman akrab yang bisa kuajak hangout. Selama ini aku memang ke mana-mana sendirian, karena aku merasa tak perlu punya teman. Lagipula, aku punya Lisa. Tanpa mengeluh, ia selalu menemani ke mana pun aku pergi. Tak seperti kebanyakan temanku dulu yang sering menolak ajakanku.
Sayangnya, itu semua berakhir setahun lalu saat Lisa lulus SMP dan ingin melanjutkan SMA di Yogya. Ia bahkan tak repot-repot menjelaskan alasan kepindahannya padaku. Mendadak saja Lisa sok sibuk dan susah diajak bicara, sementara diam-diam semua sudah dipersiapkan—mulai dari surat-surat, bahkan koper berisi pakaian.
Aku benci Lisa. Sungguh benci. Ketika melihat sikapnya yang sok manis sekarang, aku merasa muak. Aku tak mau bersikap munafik dengan bersikap baik padanya. Toh, Lisa lah yang lebih dulu mengawali ‘perang dingin’ kami.
“Mala, tolong belikan telur, ya. Satu kilo saja. Persediaan di dapur habis.”
Ucapan Mama membuyarkan lamunanku. Aku menggerutu kecil, tapi bangkit juga dari dudukku untuk membeli telur. Tiba-tiba saja, Lisa muncul. Ia tersenyum cerah dengan jari telunjuk memutar-mutar kunci motor.
“Aku antar deh. Ke minimarket dekat situ, kan? Yuk, Kak,” ajak Lisa sembari menjajari langkahku. Aku diam saja, tak menggubris ucapannya. Begitu sampai di garasi yang terletak di samping Naifa Bakery, Lisa segera men-starter motor. Aku sendiri segera mengeluarkan sepeda mini yang selalu kugunakan selama setahun ini.
“Lho, Kak. Kok naik sepeda, sih? Kan pakai motor lebih cepat.”
Aku cuma memandang Lisa dengan tatapan dingin. Tanpa menghiraukan ucapannya, aku mengayuh sepedaku keluar dari Naifa Bakery. Lisa terus-terusan memanggilku. Aku mendengus tak peduli. Huh, masa bodoh dengan Lisa!
***
Aku menyempatkan diri mengunjungi Café Louvre setelah selesai membeli telur. Tempatnya memang tidak begitu jauh dari minimarket. Untunglah, Panji sedang istirahat sekarang, jadi kami bicara sebentar di meja berkanopi. Panji memesan iced blueberry tea untukku, karena cuaca memang sedang panas sekali.
“Jadi, kamu masih marah sama Lisa? Sikapmu itu kekanakan, Mal. Bukannya lebih baik dibicarakan? Jangan seenaknya begitu,” nasihat Panji. Ia mengipas-ngipas kertas menu di depan leher karena kegerahan.
“Kamu nggak bakal ngerti! Yang seenaknya tuh Lisa, bukan aku!” sungutku kesal. Panji mendesah, tahu kalau percuma saja menasihatiku.
Aku menyeruput minumanku keras-keras untuk meredam emosi. Emosiku menyusut setelah kesegaran iced blueberry tea melewati tenggorokanku.
Diam-diam, kuperhatikan penampilan Panji hari ini. Ia tampak menawan dengan paduan celana jeans hitam dan kemeja putih yang digulung sampai siku. Dulu, Lisa sering bilang Panji mirip Oguri Shun. Aku tak menampik pendapatnya. Saat tertawa, Oguri Shun memang mirip artis Jepang itu.
Mendadak, aku kembali teringat masa lalu saat aku dan Lisa sering menonton Panji latihan lari dan memotretnya diam-diam. Kami memang sama-sama menyukai Panji yang tinggal satu kompleks dengan rumah kami.
Ada satu kesepakatan di antara aku dan Lisa. Supaya tidak ada hati yang tersakiti, tidak ada seorang pun yang boleh jadi pacar Panji. Kami berjanji akan menyukai Panji dari kejauhan. Karena bagaimana pun, tak boleh ada seorang pun—apalagi cowok—yang boleh merusak hubungan persaudaraan kami.
“Eh, waktu istirahatku sudah selesai, nih. Kamu pulang aja. Minumannya aku yang bayar,” ujar Panji sambil melirik jam tangannya.
Dengan sedikit enggan, aku pun bangkit. Ketika berbalik seraya menenteng bungkusan berisi telur, mataku menangkap sosok Lisa di seberang jalan. Ia duduk di atas motor, tak jauh dari Café Louvre.
Aku memicingkan mata, mencoba menajamkan penglihatanku. Saat itu, sebuah truk besar melintas lambat. Ketika truk itu sudah lewat, aku memerhatikan tempat Lisa tadi. Keningku berkerut. Tidak ada siapa pun di sana. Hmm… apa tadi aku cuma salah lihat saja?
***
Setelah memasukkan telur ke dalam kulkas, aku bergegas pergi ke kamarku. Saat membuka pintu, aku dikejutkan dengan kehadiran Lisa yang duduk di tepi tempat tidur, seolah tengah menantiku. Ia tersenyum lebar. Saat kuperhatikan lebih seksama, tak ada kerutan di kedua ujung matanya. Aku mendengus. Itu senyum palsu. Ketika seseorang tersenyum tulus, maka akan tampak kerutan di ujung matanya. Aku tahu informasi itu dari acara Human Minds yang kutonton di TV.
“Ada apa? Aku mau tidur. Capek,” ucapku ketus.
“Hmm… kapan kita jalan-jalan, Kak? Aku baru tahu ada mal baru dekat SMP-ku dulu. Kita bisa nonton bareng di sana. Ada film Agatha Christie yang baru, lho.” ujar Lisa semangat.
“Males. Pergi saja sendiri,” sahutku makin ketus.
“Yah… jangan gitu dong, Kak. Masa aku cuma bengong di rumah selama liburan? Kita juga bisa pergi renang bareng. Ayo dong, Kak…” pinta Lisa setengah merengek sambil memegang lenganku.
Sontak aku menepis lenganku kuat-kuat. Kutatap tajam mata Lisa dengan aura permusuhan yang kental. Sikap Lisa langsung berubah. Ia langsung menjaga jarak dariku.
“Kutegaskan sekali lagi, aku nggak mau nemenin kamu ke mana-mana. Terserah kalau kamu mau jalan-jalan atau apa. Aku nggak peduli. Lebih bagus lagi kalau kamu nggak usah datang ke kamarku lagi.” Mataku menyipit sinis. “Pengkhianat kayak kamu memang nggak pantas dibaikin. Kamu tahu itu kan?”
Lisa seperti tertohok begitu mendengar ucapanku. Matanya membeliak lebar. Sikap manis yang ditunjukkan sebelumnya lenyap. Seketika ia memandangku dengan sikap defensif.
“Pengkhianat Kakak bilang?” Lisa bersedekap. “Apa aku nggak salah dengar?”
“Tentu saja nggak. Ah, mungkin otak kamu sudah karatan sampai lupa kejadian waktu rumah kita disantroni debt collector gara-gara Mama nggak mampu bayar utang demi mempertahankan Naifa Bakery. Pelanggan juga pergi gara-gara toko kue Mama difitnah pakai jin penglaris. Hidup keluarga kita begitu sulit saat itu. Karena itu, kita janji bakal bantu Mama. Kita janji bakal jadi ahli patiseri yang hebat dan membesarkan Naifa Bakery sama-sama…” Aku mengatur napas sejenak. “Bertahun-tahun aku setia dengan janji kita. Aku masuk jurusan Patiseri di SMK, sesuai kesepakatan kita. Aku juga mencari beasiswa supaya bisa belajar patiseri di Australia. Tapi kamu… kamu malah seenaknya pindah ke Yogya dan masuk SMA biasa! Kamu lupa sama sekali dengan janji kita! Memang disebut apa itu namanya kalau bukan pengkhianat, hah?!” seruku emosi.
Lisa diam saja. Ia menghela napas, lalu memandangku sinis. “Yah, Kakak bisa menyebutku begitu. Silakan saja. Tapi, asal Kakak tahu, bukan aku saja yang berkhianat. Tapi, Kakak juga!!”
“Hah? Apa maksudmu?”
Lisa mendengus.” Memangnya aku nggak tahu di belakangku, Kakak jalan berdua dengan Panji? Waktu pulang dari ujian, aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalian nonton berdua. Tapi, waktu kutanya dari mana, Kakak malah jawab dari perpustakaan. Kakak bohong padaku. Dan bukan cuma sekali aku memergoki kalian. Tapi, berkali-kali. Aku juga tadi lihat Kakak pergi ke café tempat Panji kerja part time.”
Aku tercekat mendengar penuturan Lisa. Jadi, benar yang kulihat tadi memang Lisa.
“Kakak tahu apa yang paling menyakitkan bagiku? Aku paling benci dibohongi. Kalau Kakak jujur, mungkin aku bisa menerimanya. Aku juga sadar kalau Panji lebih perhatian pada Kakak, bukan padaku. Aku ngerti kalau kalian akhirnya pacaran. Tapi, apa yang Kakak lakukan itu nggak bisa kuterima.”
“Tapi, aku sama sekali nggak pacaran dengan Panji!” bantahku. “Aku masih ingat janji kita. Ya, aku mengaku kalau aku sempat jalan dengan Panji berdua saja. Tapi, itu juga karena Panji yang memaksaku. Dia memang minta aku jadi pacarnya, tapi kutolak. Sebagai gantinya, dia minta nonton berdua saja.”
Mata Lisa memicing. “Kakak nggak bohong?”
“Buat apa aku bohong! Waktu itu aku sengaja bohong, karena nggak mau kamu patah hati. Aku memang suka Panji. Tapi aku lebih sayang adikku sendiri!”
Lisa terdiam. Aku pun tak sanggup berkata apa-apa lagi. Rasanya benang kusut masalah yang ada di sekitarku dan Lisa mulai terurai sedikit demi sedikit.
“Jadi, alasanmu pindah ke Yogya, karena kamu pikir aku pacaran dengan Panji? Kamu mau balas dendam?” tanyaku penasaran.
Lisa menggeleng. “Nggak sepenuhnya seperti itu. Aku pernah baca SMS Oma di ponsel Mama. Oma bilang dia kesepian setelah Tante Menik menikah dan ikut suaminya ke Jakarta. Karena itu, kupikir nggak ada salahnya aku pindah. Aku bisa menemani Oma, sekaligus menghindari Kakak untuk sementara. Akhirnya, Mama pun mengurus kepindahanku tanpa sepengetahuan Kakak.”
“Tapi, kenapa kamu masuk SMA biasa? Di Yogya pasti juga ada SMK jurusan patiseri, kan?”
Lisa menghela napas. Ia memandangku dengan tatapan lesu. “Maaf, Kak. Tapi, selama ini Kakak lah yang lebih berbakat di bidang patiseri, bukan aku. Kakak memang selalu mendukungku, tapi aku sadar kemampuanku di bidang patiseri kurang. Kalau memaksakan diri, itu hanya akan membebaniku. Hasilnya pun pasti mengecewakan Kakak. Karena itu, aku lebih memilih SMA biasa.”
Aku mengangguk paham sambil mengingat-ingat betapa frustasinya Lisa tiap kue bikinannya gagal. Dulu, aku dan Lisa memang sering bergantian praktik membuat kue di dapur. Kue-kue bikinanku enak, bahkan layak dijadikan display di Naifa Bakery. Beda dengan kue buatan Lisa yang cenderung bantat dan penampilannya kurang menarik.
“Kupikir ada hal lain yang bisa kulakukan untuk Naifa Bakery. Kakak yang memasak dan aku yang akan mengurus manajemennya. Bukannya itu sama-sama membantu Mama?” Lisa tersenyum. “Selama di Yogya, aku selalu memikirkannya. Aku sadar tindakanku dulu kekanakan dengan mendiamkan Kakak. Karena itu, liburan ini aku ingin memperbaiki hubunganku dengan Kakak. Aku ingin kita kembali akrab seperti dulu. Aku juga nggak masalah andai Kakak pacaran dengan Panji. Kakak masih suka dia, kan?”
“Memangnya kamu nggak suka Panji lagi?” tanyaku khawatir.
Lisa menggeleng. Sambil tersenyum malu, ia menunjukkan layar ponselnya. Mataku memelotot melihat foto Lisa berdua dengan cowok bermata sipit dan berkacamata. Mereka tersenyum lebar ke arah kamera dengan latar keriuhan Malioboro.
“Ehm, namanya Danny. Dia pacarku sekarang.”
“What?!!” teriakku heboh. Aku benar-benar tidak menyangka Lisa punya pacar. Selama di Yogya, kami memang jarang sekali berkomunikasi. Aku sama sekali tak tahu-menahu kehidupan Lisa selama tinggal bersama Oma.
“Duh, Kak, jangan heboh begitu, dong.” Lisa terkekeh geli.
Aku tak menghiraukan ucapan Lisa. “Kamu harus cerita tentang Danny! Anaknya gimana? Baik? Atlet lari juga kayak Panji?” rentetku penasaran. Perasaan kesalku pada Lisa entah menguap ke mana.
“Hmm… gimana ya? Aku mau saja sih cerita. Tapi, kan lebih enak kalau sambil jalan-jalan ke mal, shopping, nonton juga. Gimana? Masih nggak mau jalan-jalan bareng?” tawar Lisa sambil memasang mimik sok imut andalannya itu.
Aku terbahak keras. Segera kuacak rambut Lisa dan menyetujui ajakannya. Sungguh, aku tak sabar mendengar cerita Lisa. Lebih dari itu, aku senang kami bisa kembali akrab dan bercanda lepas seperti dulu. Ya, dari awal, sesungguhnya tak ada pengkhianat di antara kami. Yang ada hanya kesalahpahaman kecil, karena kami tak mau melukai hati masing-masing.
***
0 comments:
Post a Comment