Feb 25, 2017

A Monster Calls

0


REVIEW A MONSTER CALLS (PANGGILAN SANG MONSTER)

Judul: Panggilan Sang Monster (A Monster Calls)
Penulis: Patrick Ness
Ilustrasi: Jim Kay
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Maret 2016
Tebal: 216 halaman
ISBN: 978-602-03-2081-6

Blurb:

Sang Monster Muncul Persis Lewat Tengah Malam.
Seperti Monster-Monster Lain.

Tetapi, dia bukanlah monster seperti yang dibayangkan Conor. Conor mengira sang monster seperti dalam mimpi buruknya, yang mendatanginya hampir setiap malam sejak Mum mulai menjalani pengobatan, monster yang datang bersama selimut kegelapan, desau angin, dan jeritan… Monster ini berbeda. Dia kuno, liar. Dan dia menginginkan hal yang paling berbahaya dari Conor.

Dia Menginginkan Kebenaran.

Review:

Monster itu datang menemui Conor O’Malley tiap pukul 00.07 malam. Perawakannya yang besar dan kasar menyerupai pohon yew—begitu menakutkan, kelam, dan liar. Siapa pun yang melihatnya pasti terkencing-kencing karena ketakutan.

Sayangnya, itu tak berlaku bagi Conor. Alih-alih ketakutan, bocah itu malah merasa kecewa, karena bukan monster itu yang dinantinya. Ada monster lain yang lebih seram dan menakutkan. Monster itu kerap muncul menghantui malam-malam Conor lewat mimpi buruk. Ya, monster itulah yang sebenarnya dinanti Conor, bukan monster dari pohon yew yang mendatanginya tersebut.

Meski demikian, Conor menanti kedatangan monster itu. Sudah banyak masalah yang dialami Conor, mulai perundungan yang dialaminya di sekolah, kerinduannya pada sang ayah, sampai pengobatan ibunya yang tak kunjung menyehatkan fisik sang ibu. Kedatangan monster itu tak buruk-buruk amat dibanding apa yang dialaminya. Lagipula, Conor juga penasaran apa maksud sang monster itu menemuinya.

Bukannya mendapat jawaban, sang monster malah berkata Conor lah alasannya datang. Conor makin tak mengerti. Ia merasa tak memanggil sang monster. Sang monster pun berkata bijak bahwa ia akan menceritakan tiga kisah pada Conor. Tugas Conor adalah melanjutkan kisah keempat. Melalui kisah keempat itulah, maka kebenaran yang disembunyikan Conor akan terungkap. Kebenaran yang sejatinya diinginkan sang monster darinya.

***

Sedari dulu, aku berpikir mimpi bukan hanya sekadar bunga tidur semata. Aku pernah membaca ada mimpi-mimpi yang berasal dari alam bawah dasar manusia. Mimpi itu bisa berupa perlambang yang menunjukkan keinginan, ketakutan, bahkan trauma masa lalu. Jujur saja, aku pernah mengalami mimpi semacam itu. Ketika terbangun, mimpi itu benar-benar menghantui dan membuatku ketakutan. Ya, mimpi semacam itulah yang dialami Conor O'Malley, tokoh utama novel A Monster Calls. Mimpi itu melibatkan ibunya yang sedang sakit kanker. Melihat mimpi Conor tersebut, langsung saja membuatku simpati pada bocah berusia 13 tahun itu. Aku pernah mengalami hal yang serupa, jadi aku paham sekali apa yang dirasakan Conor, dan betapa takutnya ia akan sosok monster dalam mimpinya tersebut.

Kover dan ilustrasi novel ini didominasi warna-warna kelam, sesuai dengan ide ceritanya yang berkisar seputar cinta, kehilangan, dan harapan. Awalnya, aku berpikir akan menemui kisah horor nan mistis ketika membaca novel ini. Namun, rupanya tak seperti itu. Aku terjebak dengan penggambaran kisah monster yang biasa diceritakan di buku lain. Monster di novel ini jauh dari kesan itu. Ia tak menghantui Conor, namun malah membuka pikiran Conor lewat kisah-kisah yang diceritakannya pada Conor.

Bagian yang kusuka dari novel ini adalah tiga kisah yang diceritakan sang monster. Ketiga kisah tersebut memiliki penjabarannya masing-masing. Yang membuatku terkesan, dari kisah-kisah tersebut, muncul dua kesimpulan yang didapat, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Ketika membacanya, aku jadi paham bahwa tak ada hal yang benar-benar baik, atau benar-benar jahat. Sesuatu yang baik bisa saja kelihatan jahat, juga sebaliknya, tergantung dari sudut mana kita melihatnya.

Karena manusia adalah makhluk yang rumit, kata monster itu. Bagaimana lagi sang ratu bisa menjadi penyihir baik sekaligus jahat? Bagaimana lagi sang pangeran menjadi pembunuh sekaligus penyelamat? Bagaimana lagi si apoteker memiliki perangai buruk tapi pemikiran yang lurus? Bagaimana lagi seorang pendeta berpikir keliru tapi berbaik hati? Bagaimana lagi pria tak kasatmata membuat diri mereka semakin kesepian dengan menjadi terlihat? (hal. 201)

Puncak dari novel ini adalah lewat kisah keempat, ketika Conor diharuskan menceritakan kisah dalam mimpi buruknya. Bagian ini begitu sarat emosi. Aku bisa memahami kesedihan Conor dan penyangkalan atas apa yang dilakukannya. Sang monster sendiri tak peduli hal itu. Ia terus mendesak agar Conor mengakui perbuatannya. Yang tak diketahui Conor, ada kebenaran sejati yang tersembunyi di baliknya.

Kau tidak menulis hidupmu dengan kata-kata, ujar sang monster. Kau menulisnya dengan tindakan. Apa yang kaupikirkan tidaklah penting. Satu-satunya yang penting adalah apa yang kaulakukan. (hal. 202)

Saat menamatkan novel ini, aku harus menahan napas karena terlalu larut dengan emosi Conor. Di blurb-nya sendiri memang diceritakan kalau kisahnya tergolong sedih. Tapi, membayangkan anak seusia Conor mesti mengalami hal-hal yang begitu menyakitkan, rasanya aku jadi sedikit tidak tega. Untunglah, semua itu terbayarkan dengan pesan yang ingin disampaikan penulis. Buatku pribadi, novel ini membuka pikiranku akan hal-hal di sekitarku, agar jangan merasa benar sendiri saat mencermati suatu peristiwa yang terjadi. Aku juga belajar untuk jujur pada diri sendiri, meski hal itu berat, menakutkan, bahkan tergolong jahat sekali pun.

Membaca A Monster Calls memang memberi kesan tesendiri. Karena itulah, aku menyematkan empat bintang pada novel ini. Untuk kisah yang kelam namun menyentuh ini, aku tak ragu merekomendasikannya pada siapa pun, karena memang ceritanya bagus, beda, dan sarat makna.

So... selamat berburu novel ini. Dan... selamat membaca!! ;)

0 comments:

Post a Comment