Dec 5, 2017

The Rose Society

0


Judul: The Rose Society
Penulis: Marie Lu
Penerjemah: Prisca Primasari
Penerbit: Mizan Fantasi
Cetakan: I, Oktober 2016
Tebal: 480 halaman
ISBN: 978-979-433-993-0

Blurb:

Setelah terusir dari Perkumpulan Belati, Adelina Amouteru membuat tandingannya, yakni Perkumpulan Mawar. Di antara para Elite Muda yang berhasil dia rekrut ada Magiano Sang Pencuri dan Sergio Sang Penenun Hujan. Dengan bantuan para Mawar, Adelina bermaksud membalas dendam pada Teren dan Aksis Inkuisisi, serta merebut takhta Kerajaan Kenettra. Ini bukan hal mudah, karena Perkumpulan Belati bekerja sama dengan Maeve, Ratu Beldain yang juga mengincar takhta Kenettra. 

Ketika pertempuran besar semakin dekat, Adelina tidak hanya harus menghadapi musuh-musuh dari luar, tapi juga dari dalam dirinya sendiri. Terkadang dia tidak dapat mengendalikan kekuatan, dan ilusi-ilusi yang dia ciptakan berbalik menyerangnya. Bisakah Adelina menuntaskan aksi balas dendamnya sebelum kegelapan menghancurkan dirinya?

Review: 

Adelina merasa sakit hati setelah dibuang oleh Raffaele dari Perkumpulan Belati. Dulu mereka memang teman. Tapi setelah kematian Enzo, dia didepak begitu saja. Adelina marah. Sekarang, Perkumpulan Belati tak lebih dari pihak-pihak yang berseberangan dengannya. Mereka adalah musuh, sama seperti Teren yang telah merenggut nyawa Enzo. Adelina pun berniat balas dendam. Dia ingin menunjukkan kalau tak ada seorang pun yang bisa meremehkan dirinya.

Misi balas dendam Adelina dimulai dengan mencari para Elite baru. Dia bertemu Magiano yang bisa meniru kekuatan para Elite lain. Setelah Adelina berhasil membunuh Kaisar Malam, Magiano mulai menaruh minat dan bersedia menjadi rekannya. Adelina juga bertemu Sergio yang mampu mengendalikan hujan. Rupanya selama ini, Sergio menjadi pembunuh bayaran Kaisar Malam. Melihat kekuatan Adelina, Sergio memutuskan untuk menjadi rekan sekutu Adelina.

Bersama Violetta, Magiano, dan Sergio, Adelina resmi membentuk Persekutuan Mawar. Targetnya tak hanya balas dendam, tapi juga merebut takhta Kanettra. Tentu bukan jalan yang mudah. Ada Maeve, Ratu Beldain, sang penyokong Persekutuan Belati yang juga ingin menduduki takhta.

Tipu muslihat mulai dilancarkan Adelina. Dia menghasut Teren dan menenun ilusi demi membalaskan dendamnya. Kekuatan mencipta ilusi Adelina memang semakin kuat, tapi halusinasi yang dialaminya juga makin parah. Para Elite memang memiliki kekuatan dewa. Namun, Adelina tak tahu kekuatan itu pula lah yang kelak akan menghancurkan dirinya.

***

Setelah diusir dari Perkumpulan Belati, Adelina menjadi pribadi yang tak kenal ampun. Bisa dibilang, sikap toleransinya berada di ambang batas. Kenaifannya tak memberinya hal-hal baik yang dia yakini. Sebaliknya, dia merasa dikhianati. Hal inilah yang mengubah karakter Adelina menjadi bengis dan tak berperasaan.

Mengapa bukan aku yang kali pertama menyerang, menampar lebih dulu dengan segenap kemarahan, sehingga musuh-musuhku bertekuk lutut sebelum mereka sempat berpikir untuk melawanku? Apa sih hebatnya menjadi baik hati? (hal. 129)

Di buku pertama diceritakan Adelina terkait dengan hasrat dan ambisi. Menilik dari masa lalunya yang kerap ditindas, wajar jika ambisi Adelina terhadap takhta Kanettra begitu besar. Hasrat ingin diakui memang begitu membekas pada diri Adelina. Hal ini pula yang membuatnya mampu melakukan apa saja, bahkan membunuh siapa pun yang berusaha menghalangi langkahnya.

Seharusnya kehadiran Magiano memberi dampak positif bagi Adelina. Terlebih Adelina merasa nyaman dengan pemuda itu. Sayangnya, Adelina tak mau berpaling dari cinta lamanya, Enzo. Terutama setelah hidup mereka berdua terikat. Sisi egois Adelina inilah yang membuat Magiano kecewa.

"Ya, aku tahu," geramnya sarkastis. "Hanya itu yang kau pedulikan. Kemenanganmu. Pangeranmu. Tak ada lagi yang lain." (hal. 388)

Setelah semua yang terjadi, Adelina terlihat mendamba kekuatannya sendiri. Baginya, kekuatannya adalah segalanya. Hanya saja, makin lama hal ini berdampak buruk untuknya. Bisikan-bisikan jahat terus merongrong dan mengambil alih. Adelina jadi tak bisa berpikir jernih dan terus dicekoki pikiran negatif.

Kau lihat? ujar bisikan-bisikan itu. Makhluk-makhluk yang merangkak di lantai akhirnya menghampiriku, dan sebelum aku bisa menyingkirkan mereka, mereka melompat ke arahku dan memasuki pikiranku. Pikiran-pikiran mereka menggantikan pikiran-pikiranku sendiri. Aku bergidik. (hal. 468)

Buku kedua Trilogi The Young Elites ini memang lebih kelam dari buku pertama. Marie Lu sendiri mengaku kesulitan, karena harus memposisikan dirinya sebagai tokoh jahat yang pikirannya begitu negatif. Ya, tak seperti buku lain, Adelina bukanlah sosok pahlawan. Dia tak dielu-elukan karena menumpas kejahatan. Alih-alih, dia melawan kejahatan dengan kejahatannya sendiri.

Sangat menarik melihat perkembangan karakter Adelina. Di satu sisi, pembaca diajak berempati dengan apa yang telah dialaminya. Tapi, di sisi lain, pembaca tak tahan dengan kekejaman yang dilakukannya.

Tentu kekejaman Adelina bukan tanpa alasan. Sesungguhnya, tak ada manusia yang terlahir jahat begitu saja. Ada faktor pendukung, ada latar belakang di baliknya. Inilah menariknya buku ini. Adelina memberi kesan bahwa dia layak melakukan hal-hal jahat tersebut sebagai kompensasi atas apa yang telah dia alami. Dan kita sebagai pembaca, memahami dengan jelas bagaimana hal itu bisa terjadi.

Novel ini diakhiri dengan dramatis. Adelina berhasil merebut takhta, tapi tak ada kepuasan yang dia rasakan. Hal ini membuat pembaca bertanya-tanya. Seperti apa langkah Adelina selanjutnya? Apa dia akan berubah atau malah makin terjerumus dengan kegelapan?

Jawabannya tentu ada pada The Midnight Star sebagai penutup seri The Young Elites. Seri ini memang layak dikoleksi. Marie Lu berhasil memaknai kegelapan lewat tokoh Adelina dengan versinya sendiri, yang tak hanya mengundang benci, tapi juga simpati.

Rate: 5/5 bintang

0 comments:

Post a Comment