REVIEW PROBLEMATIKA UANG KULIAH DAN BAGAIMANA MENGATASINYA DENGAN CARA MENJUAL JIN
Judul: Problematika Uang Kuliah dan Bagaimana Mengatasinya dengan Cara Menjual Jin
Penulis: Octa
Link: Storial.co
Blurb:
Setidaknya Sheila punya tiga kesalahan menurut Ibu:
1. Menculik jin milik tetangga;
2. Menjualnya di pasar daring;
3. Menggunakan uang hasil penjualannya untuk membayar uang kuliah.
Tapi, Sheila punya tiga pembelaan:
1. Dia baru tahu kalau keluarga mereka miskin;
2. Mereka tidak bisa membayar uang kuliah Sheila;
3. Menculik dan menjual jin tidak bisa dipidanakan—hanya bisa dihukum.
Ibu pun menghukum Sheila: Membuat laporan semua yang dia lakukan dengan jujur dan apa-adanya. Buku ini adalah laporan Sheila.
Review:
Absurd sekaligus tidak biasa. Seperti itulah kesan awal saat membaca judul yang sekilas mirip judul skripsi ini—Problematika Uang Kuliah dan Bagaimana Mengatasinya dengan Cara Menjual Jin. Alhasil, siapa pun pasti tergelitik. Apa mungkin menjual jin untuk membayar uang kuliah? Belum selesai keabsurdan di bagian judul, isi blurb-nya tak kalah mengundang tanya. Sang tokoh utama Sheila dihukum untuk menulis laporan. Laporan? Fiksi berbentuk laporan? Seperti apa bentuknya? Pertanyaan tersebut tentu memancing keingintahuan pembaca untuk membaca lebih lanjut—yang tentunya membuat cerita ini mendapat nilai plus hanya dari judul dan blurb.
Octa, sebagai penulis cerita ini mengawali kisahnya dengan membahas sampul. Layaknya laporan, penulis perlu sekali menjelaskan desain sampulnya yang biasa-biasa saja dikarenakan tinta printer-nya habis. Meski tampak konyol, namun penulis menuliskannya secara menarik dan sistematis. Misalnya seperti pembelaan desain sampulnya yang mirip buku The Subtle Art of Not Giving A F*ck karya Manson dan pemilihan judul yang mau tidak mau sepanjang itu. Tak bisa dipungkiri, cara ini begitu menggugah. Siapa pun pasti penasaran dan ingin terus membaca untuk mencari tahu apa yang akan diceritakan Sheila selanjutnya.
Membaca cerita ini layaknya membaca buku harian. Dengan gaya menulis yang asyik khas novel terjemahan, pembaca diajak mengikuti awal mulai Sheila berniat menjual jin. Dibantu Rangga—sahabat Sheila—mereka memanfaatkan desas-desus mengenai jin yang tinggal di pohon kecapi, plus buku bersampul merah yang ditemukan di rumah Mas Bagyo. Cerita mengenai jin ini begitu meyakinkan, sehingga tercetuslah keinginan Sheila untuk menjual jin yang sebelumnya ditangkap menggunakan botol kecap.
Makin membaca, keabsurdan cerita ini makin terasa. Untuk menguatkan opini di beberapa bab, penulis tak lupa menambahkan sumber artikel online. Kekreatifan penulis dalam hal ini patut diacungi jempol. Ditambah narasi yang lucu dan kocak, pembaca jadi terus-terusan dibuat tertawa melihat tingkah Sheila dan Rangga.
Meskipun kisah yang ditawarkan terkesan tak masuk akal, ajaibnya ceritanya sendiri ditulis dengan baik dan rapi. Penulis bahkan memberi twist yang tak terduga menjelang ending yang berawal dari pin tokoh anime. Chemistry yang dibangun antara Sheila dan Rangga juga jadi daya tarik sendiri. Melihat kedekatan mereka, siapa pun pasti berharap memiliki orang terdekat yang begitu perhatian, seperti Rangga yang begitu menyayangi dan rela melakukan apa pun untuk Sheila.
Cerita ini memang paket komplet, dikarenakan keunikan format, ide yang tak biasa, plus eksekusi ceritanya yang brilian. Memang ada sedikit typo, tapi tak mengurangi kesan mendalam setelah menamatkan cerita ini. Rasanya tak berlebihan andai berharap cerita yang diikutkan dalam Kompetisi Menulis Teenlit Storial.co dengan tema Happy Girl ini bisa memenangkan kompetisi. Selain ceritanya yang menggugah minat membaca, banyak sekali kalimat quotable seperti yang tertulis di bawah ini:
Tapi, yah... mengharapkan film sesuai dengan realita itu agak sulit nampaknya karena seni—dan film juga bagian dari seni, kan—seharusnya membuatmu merasakan sesuatu. Itu tugas dari seni. It should make you feel something. Seni hanya proyeksi realita.
Tapi tuntutan dan tekanan sosial yang kemudian membuat kita mempertanyakan lagi: Apakah kita benar tidak kesepian? Jangan-jangan, kita tidak pernah kesepian, tapi orang-orang yang menatap kasian itu membuat kita merasa bahwa kita kesepian. Perasaan kita pun perlu divalidasi karena yang kita rasakan sepertinya tidak valid.
Aku juga merasa kasihan pada diriku sendiri. Aku ingin kuliah tapi aku tidak bisa mengurus semua yang diperlukan untuk itu. Aku punya cita-cita tapi aku tidak bisa bertanggung jawab untuk membuat diriku mampu menggapainya. Aku marah pada diriku sendiri.
Kadang aku cemburu dengan cinta orang dewasa. Betapa mereka bisa membuat cinta itu jadi sesuatu yang mengikat, bukan lagi tujuan. Tidak seperti kami anak muda yang menjadikan 'jadian' dan 'pernyataan cinta' sebagai klimaks dari jatuh cinta. Kalian orang dewasa, menjadikan itu hanya langkah awal untuk saling mengerti, memahami, kalau kalian ada di tempat yang sama. Setelah itu pertanyaannya: Apa yang mau kalian bangun dari itu semua?
Cinta itu jadi air yang menyirami benih dan menumbuhkannya. Sementara kami, anak muda, jatuh cinta monyet sampai tenggelam di air yang bahkan dangkal saja tidak.
"Karena... relationship itu bukan tentang siapa yang menang dan kalah. Kalau misalnya salah satu dari kalian merasa benar dan perlu untuk menyalahkan yang lainnya, kalian ada berdua di hubungan itu. If one of you should be a loser in this relationship, the other one has to end up with a loser. You don't want a loser, you want a lover. Am I wrong?"
Rating: 5/5 bintang
Saya lihat pengumuman pemenang kompetisi novel ini dan awalnya agak aneh juga dengan format novelnya
ReplyDelete