Dec 22, 2020

Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982

0


REVIEW KIM JI-YEONG, LAHIR TAHUN 1982

Judul: Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982
Penulis: Cho Nam-joo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2019
Tebal: 192 halaman
ISBN: 978-602-06-36-191

Blurb:

Kim Ji-yeong adalah anak perempuan yang terlahir dalam keluarga yang mengharapkan anak laki-laki, yang menjadi bulan-bulanan para guru pria di sekolah, dan yang disalahkan ayahnya ketika ia diganggu anak laki-laki dalam perjalanan pulang dari sekolah di malam hari.

Kim Ji-yeong adalah mahasiswi yang tidak pernah direkomendasikan dosen untuk pekerjaan magang di perusahaan ternama, karyawan teladan yang tidak pernah mendapat promosi, dan istri yang melepaskan karier serta kebebasannya demi mengasuh anak.

Kim Ji-yeong mulai bertingkah aneh.

Kim Ji-yeong mulai mengalami depresi.

Kim Ji-yeong adalah sosok manusia yang memiliki jati dirinya sendiri.

Namun, Kim Ji-yeong adalah bagian dari semua perempuan di dunia.

Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 adalah novel sensasional dari Korea Selatan yang ramai dibicarakan di seluruh dunia. Kisah kehidupan seorang wanita muda yang terlahir di akhir abad ke-20 ini membangkitkan pertanyaan-pertanyaan tentang praktik misoginis dan penindasan institusional yang relevan bagi kita semua.

Review:

Ada perbedaan perlakuan yang diterima laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial. Bak strata, perempuan kerap ditempatkan di kelas kedua. Meski laki-laki dan perempuan mempunyai kualifikasi yang sama, terlahir sebagai laki-laki memberi keuntungan tersendiri. Terlebih pada masyarakat Korea yang masih menjunjung tinggi budaya patriarki. 

Potret budaya patriarki yang kental tampak jelas pada novel Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982. Kim Ji-yeong adalah perempuan berusia 34 tahun. Dia seorang istri dan ibu yang mengalami depresi pascamelahirkan yang berubah menjadi depresi pengasuhan anak (halaman 169). Namun, saat melakukan konseling, diagnosisnya ternyata tak sedangkal itu. Diceritakan secara flashback, novel ini mengisahkan kehidupan Kim Ji-yeong dari masa kecil, remaja, kuliah, menikah, sampai memiliki anak.

Novel ini cukup tipis dan bisa dibaca sekali duduk. Meski demikian, muatan isinya akan menampar siapa pun yang membacanya. Sebagai penulis, Cho Nam-joo terang-terangan memasukkan unsur feminisme lewat narasi dan dialog, beserta catatan kaki yang relevan. Pembaca dibuat mengerti situasi dan kondisi Kim Ji-yeong. Juga bagaimana tuntutan demi tuntutan mengakibatkan gangguan mental pada diri Kim Ji-yeong. 

Terlahir sebagai perempuan di Korea memang tak seindah yang dibayangkan. Kim Ji-yeong memiliki satu kakak perempuan dan satu adik laki-laki. Seharusnya orang tua memperlakukan anak-anak mereka sama baik, adil, dan tak pilih kasih. Namun, tak demikian dengan keluarga di Korea. Anak laki-laki kerap diperlakukan khusus. Mereka juga mendapat jatah lebih dari anak perempuan. Praktik semacam ini begitu lumrah dan mendarah daging. Hal ini amat miris, mengingat laki-laki dan perempuan sudah sepatutnya mendapat hak pengasuhan yang sama dari orang tua mereka.

Pada kasus lain, dalam sebuah keluarga anak perempuan bisa saja dijadikan “tumbal” untuk menyokong pendidikan anak laki-laki. Masa itu adalah masa ketika anak laki-laki dianggap sebagai seseorang yang harus menjadi tulang punggung keluarga, dan anak laki-laki adalah inti dari kesuksesan dan kebahagiaan keluarga (halaman 33). Alhasil, anak perempuan Korea bekerja banting tulang untuk membiayai saudara laki-laki mereka. Ketika anak laki-laki ini sukses, tak ada apresiasi untuk anak perempuan. Hal inilah yang dialami ibu Kim Ji-yeong. Cukup menyedihkan melihat ibu Kim Ji-yeong mengorbankan masa depannya demi kepentingan anak laki-laki dalam keluarganya sendiri.

Tentu tak mudah memutus diskriminasi gender dalam budaya patriarki. Terlebih di Korea, ketidakberpihakan selalu dialami perempuan. Misalnya saja ketika Kim Ji-yeong dikuntit laki-laki teman lesnya. Alih-alih membela putrinya sendiri, ayah Kim Ji-yeong malah memarahi Kim Ji-yeong. Budaya patriarkilah yang menyebabkan hal ini terjadi. Bahwa perempuan dianggap bertanggung jawab atas pelecehan yang mereka alami. Kalau ia sampai tidak sadar dan tidak menghindar, maka ia sendiri yang salah (halaman 66). Meski laki-laki adalah pelaku, tetapi penghakiman selalu diberikan pada pihak perempuan. Apakah ini adil? Tentu tidak. Pada akhirnya, perempuan dipaksa mengikuti aturan tak tertulis itu. Perempuan harus berhati-hati, berbaju sopan, dan bersikap pantas. Kalau tidak, tanggung sendiri akibatnya.

Ekosistem para pekerja di Korea pun tak tak berpihak pada perempuan. Meski laki-laki dan perempuan memiliki kapabilitas yang sama, tetapi peluang laki-laki lebih besar. Gajinya pun lebih banyak. Apabila perusahaan meminta rekomendasi dari pihak fakultas atau dosen, yang direkomendasikan selalu adalah laki-laki (halaman 95). Pihak perusahaan beralasan laki-laki (terutama yang sudah wajib militer) memberi kesan bagus bagi perusahaan. Apakah ini adil? Sekali lagi, tidak. Ketika patriarki sudah merambah sistem, sulit bagi perempuan untuk mengembangkan potensi dengan “harga” sama seperti yang didapat laki-laki.

Membaca novel ini seperti menguliti kehidupan kebanyakan perempuan. Ketika lajang, perempuan disuruh menikah. Ketika sudah menikah, perempuan disuruh punya anak. Kalau tak segera punya anak, perempuan yang lagi-lagi disalahkan. Seperti itulah yang dialami Kim Ji-yeong. Menikah dengan pria yang dicintai tak berarti kehidupan berhenti. Menikah hanya membuka gerbang masalah baru, dengan solusi yang (sayangnya) tak berpihak pada Kim Ji-yeong.

Melahirkan dan menjadi ibu memang kodrat perempuan. Sayangnya bagi Kim Ji-yeong, menjadi ibu berarti kebebasannya sebagai perempuan direnggut paksa. Ketika hamil, orang-orang akan menunjukkan ekspresi terganggu gara-gara kehadirannya. Karena memiliki bayi, dia harus berhenti bekerja. Kim Ji-yeong yang suka bekerja dan menghasilkan uang sendiri, tentu merasa kehilangan. Ditambah omongan pedas orang-orang, membuat mental Kim Ji-yeong terguncang. Hal inilah pencetus utama depresi yang dialami oleh Kim Ji-yeong.

Tak bisa dipungkiri, Kim Ji-yeong adalah refleksi perempuan di era modern. Sayangnya, kepedulian terhadap mental para ibu masih tergolong rendah. Seringnya, lingkunganlah yang membebani pikiran para ibu. Para ibu selalu dituntut menjadi perempuan sempurna, tanpa cela, tanpa mengeluh, bertanggung jawab, serta mampu mengurus keluarga dengan baik. Bagaimanapun, perempuan hanya manusia biasa. Ketika tak bisa membantu, bersimpati saja cukup. Tak usahlah membebani pikiran para ibu dengan ucapan pedas yang mendiskriminasikan keberadaan mereka.

Buku ini memang cuma setebal 192 halaman. Namun, isinya begitu merasuk dan membuka kacamata pembaca mengenai diskriminasi gender, serta implikasinya pada kehidupan bermasyarakat di Korea. Salut pada Penerbit Gramedia Pustaka Utama yang telah menerbitkan novel ini. Dengan terjemahan yang nyaman dibaca dan kover yang menarik, buku ini sangat layak dikoleksi. 

Perjuangan para feminis menuntut kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan masih jauh dari sempurna. Meski demikian, kampanye feminisme masih terus dilakukan. Fiksi bisa dijadikan media yang tepat. Membaca Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 adalah salah satu cara untuk menggugah kesadaran masyarakat mengenai feminisme.

Akhir kata, bagi perempuan di luar sana, kalian bukanlah jongos patriarki. Kalian berharga dan layak mendapat kesempatan, serta pilihan sama banyaknya seperti yang didapat laki-laki.

Rating: 4/5 bintang

0 comments:

Post a Comment